Minggu, Juni 29, 2008

Kambing Jantan


Dulu di Gramed aku pernah ngeliat sebuah buku yang berjudul “Kambing Jantan : Catatan Harian Seorang Pelajar Bodoh”. Abis baca judulnya, langsung ogah deh buat baca. Takut ketularan. Ketularan bodoh. Sambil mengingatkan pada diri sendiri, jangan sampai baca tuh buku. Jangan deh. Dan waktupun berlalu..

Sekali waktu Sony pernah cerita klo dia lagi baca buku yang judulnya “Kambing Jantan”. Ah, ngapain kamu baca buku kayak gitu. Dan sampai saat aku berkomentar seperti itu, sejujurnya aku belum pernah tau apa sebenernya isi buku tersebut. Yang terpikirkan bahwa itu adalah sebuah cerpen. Sebuah chicklit. Males, ah. Dan waktupun berlalu kembali..

Shinta temen kostan sempet ngomong klo dia suka banget sama buku yang judulnya “Kambing Jantan”. Gokil banget katanya. Dan Ririn yang udah baca buku itupun mengiyakan. Waktu aku mo ke Gramed, Shinta nitip pesen tolong liatin buku Raditya Dika yang baru. Siapa Raditya Dika? Ya, pengarang “Kambing Jantan”. Oh, rupanya ni orang dah banyak nelorin buku. Di Gramed, aku terpaksa harus ngelirik lagi buku-buku karya orang ini, setelah sekian lama waktu berlalu.

Waktu aku ke Perpus Balai Kota mo minjem buku, diantara deretan buku kuliat sebuah buku yang berjudul “Kambing Jantan”. Dan tak berapa lama kulupakan buku itu. Masih banyak buku lain yang lebih menarik. Waktupun agak sedikit berlalu..

Entah angin buruk apa yang tiba-tiba pada suatu hari menuntunku ke Perpus Balai Kota dan kemudian meminjam 3 buku sekaligus karya seseorang yang bernama Raditya Dika. Salah satu buku itu berjudul “Kambing Jantan”. Mungkin aku sedikit terdorong oleh rasa gengsi. Gengsi klo gak nyambung sama topik yang kerap dibicarakan orang di sekelilingku. Jadi pengen tau seperti apa “Kambing Jantan” itu. Ya Tuhan, bimbinglah aku ke jalan yang benar..

Wakakakakak…!!! Itulah reakasiku sepanjang membaca “Kambing Jantan”. Kocak abis, gak bisa nahan ketawa. Kebetulan waktu itu lagi stress. Jadi agak sedikit membantu masa penyembuhan. Kupikir, apakah orang seperti si Kambing Jantan ini benar-benar ada? Dan relly terjadi. Aku langsung membaca buku-buku lanjutannya. “Cinta Brontosaurus” dan “Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa”. Gak habis-habis nya buku yang satu ini bikin terpingkal-pingkal.

Mungkin akhirnya aku sedikit terinfeksi virus “Raditya Dika”. Dimana aku mulai agak meniru cara dia memandang hidup. Dengan ke sotoy an nya. Dengan cara dia mengeksplor hal-hal yang orang pikir gak penting, tapi jadi menarik. Dengan pikiran-pikiran dia yang terkadang kupikir akupun selalu memikirkan hal yang sama. Tapi karena kupikir pikiran tersebut hanyalah pikiran gak penting belaka, maka tak kulanjutkan lah pikiran yang gak penting itu. Tapi seseorang seperti si Radit ini malah melanjutkannya.

Ni buku isinya emang gokil dari awal sampe akhir. Kemasannya emang gitu. Tapi kurasa sebenernya ada hal lebih bermakna yang pengen di sampein sama penulis. Dan akupun merasakan pesan itu. Jujur, sambil membaca buku ini aku jadi menimbang kembali akan hidup yang pernah kujalani selama ini (halah..halah..). Aku belajar tentang banyak hal dari Radit. Bahwa dalam hidup itu kita musti punya sesuatu yang pengen kita capai. Dan kita harus bersedia berubah kearah yang lebih baik klo mo capai tujuan itu. Radit udah melakukannya lebih awal. Tapi itu belum terlambat juga untuk segera kulakukan.

Seaneh atau seburuk apapun hidup lo, lo harus bisa menikmatinya. Trus harus bisa dan terus berusaha jadi orang yang berguna. Betapapun sulitnya. Dari dia aku belajar tentang keyakinan. Bukan tentang keyakinan beragama. Tapi keyakinan bahwa aku bisa mengejar dan sampai pada apapun yang mau kutuju, asalkan aku punya tekad yang kuat kayak tank baja. Lo harus ngebebasin diri untuk melakukan hal-hal yang diyakini dan dimau-i tanpa harus terbebani dengan hal-hal yang orang lain pikirkan tentang kita.

Pokoknya abis baca ni buku, aku bisa belajar untuk memikirkan hidupku dengan lebih serius, tanpa kehilangan rasa untuk menikmatinya. Intinya, lo emang harus serius ngejalanin hidup, tapi bukan berarti lo harus ngejalaninnya dengan kaku.

Dan ada sepenggal percakapan yang akan terus kuingat dan kukutip. Ini dia :

“It doesn’t even matter where u do life, for me.. the smell of mountain peak snow in Switzerland is as good as the smell of filthy streets with rats among the gutters of Jakarta. It doesn’t even matter because you just enjoy where ur having time now. Just make the most of it. Make the best of it. Because, it’ll be same in other places on earth, if ur enjoying ur time. It doesn’t even matter.”

Juga ada satu pelajaran lagi yang gak kalah pentingnya. Yang bikin aku agak merubah sedikit cara pandangku terhadap orang lain dan yang paling penting caraku memandang diri sendiri. Dan kata-kata ajaib yang akan selalu teringat itu adalah :

Love somebody for what he is, not for what he should be.

Well, Radit is just inspiring me.

3 komentar:

  1. kl baca postingan kmu tentang satu buku, aku jd pngn ikut baca.tp kl dah mpe ke mall aku ga pernah mampir lg ke gramed, he..he..

    smga nanti dibukakan pintu hati (apaan seeh) buat baca buku/novel lg!hi..hi..

    bls aaamiiin !!!

    BalasHapus
  2. yohohohoho....miss me

    oke tu de point.

    jadi mi, sebenernya ada beberapa yang ingin sayah sampaikan mengenai buku-bukunya radit.

    1. mengapa buku-buku radit bisa sampai menjadi best seller, bahkan sampai menginspirasi (buat aing enggak)? karena si radit itu jujur...apa adanya, meskipun di dalem buku itu gak jarang temen-temennya jadi korban kebiadaban dia--dihina, dijelek-jelekan. tapi dia selalu jujur. apa adanya. ingat kejujuran membuahkan hasil positif

    2. selain sotoy, konyol, juga tetap memberikan sebuah bahan kontemplasi, itu yang bikin--mungkin--semua orang suka.

    3. ada yang sayah sayangkan, dia itu bukan orang yang berbekgrond organisatoris,jadi--kemungkinan--malah dia itu kalo tidak SO, atau MO (main orientied). sangat disayangkan.

    4. sayah belum baca buku radit yang terbaru. Babi Ngesot (datang tak diundang, pulang tak berkutang).


    5. aing masih lieur ku MUMAS.

    BalasHapus

what's ur comment?