Minggu, Juli 17, 2011

Be Ready

Ini sebenarnya catatan-catatan dari Ramadhan tahun kemarin. Tapi masih relevan. Di ambil dari artikel-artikel, tapi lupa lagi sumbernya. Semoga dengan tidak tercantumnya sumber, tidak membuat pemilik artikel keberatan ya. Dan berharap senantiasa mengalirlah, pahala bagi penulis artikel ini. Aamiin..

Persiapan Menyambut Ramadhan Secara Maksimal :

1. Persiapan Mental
2. Persiapan Ruhiyah (spiritual)
3. Persiapan Fikriyah
4. Persiapan fisik dan materi
5. Merencanakan peningkatan prestasi ibadah (Syahrul ibadah)
6. Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrut Taubah (bulan taubat)


10 Langkah Menyambut Ramadhan :

1. Berdo’alah agar Allah Subhanawata’ala memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat wal afiat.
2. Bersyukur dan puji Allah atas karunia Ramadhan yang kembali diberikan kepada kita.
3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadhan.
4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan.
5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan.
6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadhan.
7. Sambut Ramadhan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk.
8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs.
9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan.
10. Sambutlah Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih.


Seputar Kesalahan di bulan Ramadhan :

1. Tidak mengerjakan shalat, kecuali (hanya solat ied) di bulan Ramadhan.
2. Lalai dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya.
3. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai amalan seperti sedekah, shalat, mengaji, dan berbagai macam ketaatan lainnya di bulan Ramadhan, tetapi dia jauh dari semua itu pada selain bulan Ramadhan.
4. Berpaling dari memperlajari hukum-hukum puasa, adab, syarat dan pembatal-pembatalnya, dengan tidak menghadiri majlis-majlis ta’lim, tidak bertanya tentang masalah puasa.
5. Menyia-nyiakan waktu puasa dan malam harinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang dengan sesuatu yang haram atau membahayakan.
6. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan dengan beraneka ragam jenis makanan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah dan malas shalat dan membaca Al-Qur’an.
7. Mengawalkan waktu sahur dan mengakhirkan berbuka puasa.
8. Berpaling dari memahami dan mentadaburi al-qur’an.
9. Kebanyakan orang tua melalaikan anak-anak nya.

Semoga bermanfaat, guys! ^^

Jumat, Juli 15, 2011

Biarkan karena Kau saja

Orang-orang mengajarkanku untuk mencintai-Mu
Kadang dgn nada sedikit memerintahku
Karena Kau telah berbaik hati memberi ini itu

Apakah itu tetap bernama cinta kalau harus diajarkan?
Apakah cinta akan datang karena diperintahkan?
Apakah itu tetap terasa cinta jika karena sebuah alasan?

Aku ingin mencintai-Mu dengan alami
Tidak karena Kau telah memberiku banyak
Tapi semata-mata karena hati yg terpikat pada-Mu

Aku tak ingin merindui-Mu karena sekedar meniru
Namun semata-mata karena jiwaku yg tak kuasa berpaling

Bagaimana seandainya pemberian-Mu terhenti?
Apakah cintaku juga akan ikut berhenti?

Mereka hanya boleh memperkenalkanku pada-Mu
Tapi biarkanlah hanya Kau saja yg membuatku cinta

Izinkanlah aku mengabdi hanya karena-Mu
Bukan karena semua orang melakukan itu

Kamis, Juli 14, 2011

Kenapa

S : Kenapa coba, Tuhan itu harus Esa?

Y : Ya kalau banyak, kan ribet. Siapa yang harus menentukan yang ini, siapa yang harus menentukan yang itu.

S : Itu jawaban klise. Kalau sudah sekelas Tuhan, kemungkinan gak akan ribet lah. Pasti bisa bagi tugas masing-masing. Tapi, ini mah alasan logisnya, kenapa Tuhan harus Esa?

Y : mmmhhh... (5 menit...)

S : Taluk (nyerah)?

Y : Acan (belum). Ke mikir heula.. (25 menit...)

S : Udah lah taluk..

Y : Acan!

S : Gancang atuh (cepet dong). Taluk weh nya..

Y : mmmhhh... nya sok atuh (iya deh)

S : Karena Tuhan itu Maha Kuasa, sehingga Dia harus Esa. Kalau berbilang atau banyak , berarti Dia tidak Maha Kuasa lagi. Dan kalau tidak Maha Kuasa, bukan Tuhan namanya.

Selasa, Juli 12, 2011

Ada apa dengan An*ing?

Untuk mengetahui, bagaimana sebenarnya kondisi masyarakat sebuah bangsa, kita bisa melihat dari caranya berbahasa. (Mc Cliff dalam Lingual and Culture)



Gang di sebelah kamar kostan saya yang sekarang, sering dijadikan tempat berkumpul dan bermain anak-anak sekitar. Saking dekatnya, suara-suara dari gang itu dapat terdengar langsung dari kamar saya. Sekali waktu, sempat kaget juga ketika ada balita yang menangis karena di jahili oleh bocah-bocah kecil lainnya. Bukan tangis nya yang menjadi sebab kekagetan saya. Tapi kata-kata pengiring yang di ucapkan saat dia menangis. “Huaaaaa…an*ing, huaaaa…an*ing…huaaaa…an*ing!”

Ck..ck..ck.. anak sekecil itu…

Padahal usia balita adalah golden age. Masa-masa dimana kemampuan otak anak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Apapun informasi yang diberikan akan berdampak bagi si anak di kemuadian hari.

Orang dewasa (laki-laki) yang ada di dekat balita itu bukannya menenangkan dan member pengertian kalau kata-kata yang di ucapkannya tidak baik , tapi malah ikut menjahili. Dan tertawa-tawa setiap kali sang balita melontarkan kata “an*ing”. Ealah, wis gendeng opo ya?

Usut-punya usut, balita ini sepertinya meniru anak-anak lain berusia SD yang kerap juga mengucapkan umpatan hewan berkaki empat itu. Lantas anak-anak SD ini meniru siapa ya?

Iseng-iseng, saya suka perhatikan anak-anak putih merah, putih biru dan putih abu kalau kebetulan sedang melewati sekolahan. Atau ketika sedang makan di warteg dekat –dekat situ. Serasa bukan sekolahan deh, tapi lebih berasa seperti tempat penitipan an*ing,heuheu..

Bagamana tidak, karena hampir semua percakapan anak-anak sekolahan tersebut bermuatan si an*ing itu. Seperti : “Rek kamana, j*ng?”, “maneh tong kitu atuh an*ing”, “an*ing, hebat pisan si Messi kamari nga golkeun deui!”, “An*ing! henpon maneh meni alus kitu!”, geus ngerjakeun PR acan,j*ng? “ atau pas terantuk batu bilangnya “an*iiiing!! Nyeri!”, dll.

Tadi di gang samping kostan saya itu itu, ada anak-anak yang sedang main badminton. Tapi sepertinya, mereka akan cepat kehilangan tenaga. Karena setiap memukul kok, mereka sambil teriak “an*ing”.

Dulu ketika belum punya modem dan masih ke warnet, saya pernah hilang kesabaran dan sampai meninggalkan warnet, padahal belum selesai tuh nyari artikel. Gara-garanya ada seorang pemuda yang sedang main game (perang-perangan), dan setiap kali melakukan tembakan atau tokoh yang dimainkannya kena, selalu bilang an*ing. Game perang-perangan pastinya banyak banget kan tembak-tembakannya. Coba bayangin, gimana kuping saya gak sakit, kalau kata an*ing terdengar terus seperti muntahan peluru. Rasanya ingin melemparkan hewannya yang beneran, ke muka pemuda itu. Sambil bilang, “NIH, YANG LO PANGGIL-PANGGIL DARI TADI, AKHIRNYA DATANG JUGA!”

Masih juga di warnet. Kali ini ada anak SD yang sedang main game. Polahnya sama seperti pemuda tadi. Dikit-dikit bilang an*ing. Dan polah saya juga sudah pasti sama, langsung menyingkir dari warnet. Bener-bener sakit kuping mendengarnya.

Sekali waktu di angkot ketika sedang penuh-penuhnya penumpang. Ada dua anak SMP yang sepertinya sedang terlibat pembicaraan seru. Dan dengan santainya, mereka berdua beradu “an*ing” di angkot. Maksudnya, mereka sama-sama menyematkan kata “itu” dalam setiap obrolan. Ketika dipelototin, eh malah santai dan makin asik aja. Udah biasa gitu kali ya?

Gak di Bandung, gak di Garut, setiap anak sekolahan dari mulai yang SMA sampai SD, sering sekali mengeluarkan umpatan “an*ing”. Bahkan di kalangan mahasiswa terpelajar pun, yang katanya agen MLM, eh agent of change maksudnya, sudah menjadi hal lumrah. Mau laki, mau perempuan, udah sama aja kondisinya sekarang. Jadi sebenarnya, para siswa meniru kakak-kakaknya yang sudah “maha” itu, atau memang mereka sudah sama-sama terbiasa sejak kecil, karena tidak ada yang mengingatkan?

Masih bisa disebut terpelajarkah para pelajar seperti itu?

Seingat saya, dulu umpatan “an*ing” itu biasanya keluar dari orang-orang di lapisan masyarakat yang (maaf) kurang terpelajar. Atau juga masih bahasanya para berandalan. Dan itupun di ucapkan ketika dalam kondisi marah.

Entahlah, apakah para pelajar sekarang sangat mengidolakan hewan yang satu itu, hingga selalu di sebut-sebut. Sepertinya kurang afdol gitu kalau pas bicara gak nyebut-nyebut si “dia”. Sudah here, there and everywhere deh. Mau marah, senang, kaget, sakit, nyapa, kagum, semuanya pake “an*ing”.

Bahkan kalau yang sudah sangat faseh dan saking mendarah dagingnya, bisa terjadi seperti ini :
A : “Maneh ulangan meunang (nilai) sabaraha?”
(kamu ulangan dapat nilai berapa?)

B : “An*ing! Alhamdulillah urang mah meunang peunteun dalapan!”
(An*ing! Alhamdulillah saya dapat nilai delapan!)

Kalau kata Reza Artamevia mah, saking udah menjadi “Satu yang Tak Bisa Lepas”, bahkan umpatan hewan bernajis itu, dengan sembrononya disandingkan dengan kalimat tahmid yang suci.

Ada pepatah mengatakan, language is an index of zivilisation. Penggunaan bahasa ke arah kata-kata kasar dan buruk, adalah indikator dari adanya perubahan sosial yang memburuk.

Jadi, apakah kondisi ini telah mencerminkan masyarakat kita yang cenderung menghewankan manusia?
Masyarakat kita yang cenderung diam saja, terbiasa dan malah menurut saja ketika di anggap seperti hewan? (buktinya, nyaut ketika dipanggil "an*ing")

Senin, Juli 11, 2011

His Trace

Gak sengaja (apa di sengaja ya?) menemukan jejak tulisan Sonny di blognya yang lain. Hanya ada empat postingan sih. Tapi itu tulisannya (tepatnya ocehan) beberapa bulan sebelum pergi. Pergi bukan untuk balik lagi. Baca ocehan-ocehannya, serasa dia masih ada. Kayak kita lagi ngobrol aja seperti biasa. Yah, lagian juga gak ada niatan untuk lupa sama makhluk ajaib yang satu itu.

Ngomong-ngomong soal ocehan, jadi teringat beberapa kejadian di kelas waktu kuliah. Kalau kebetulan lagi ngontrak mata kuliah yang sama, harus siap-siap kuping deh pas dia duduk di sebelah kita. Soalnya suka ngoceh terus tentang ucapan/pemikiran dosen yang gak sesuai sama pemikirannya. Kenapa gini? Kenapa gitu?, Kudu na mah gini mi (harusnya gini,mi), ceuk urang mah kieu mi (pendapatku begini,mi)dan bla..bla..bla.. Jadinya harus sedia kuping kanan buat kuliah dosen, kuping kiri buat "kuliah" nya dia.

Masalahnya, bukan cuman ngocehnya itu, tapi pas kita "dituntut" juga buat meladeninya berdebat. Biasanya dimulai dengan kata-kata pemanasan "tah, ceuk urang mah kitu. ceuk kamu kumaha?" (nah, menurut saya begitu. Bagaimana menurut kamu?).

Pernah waktu kuliahnya Pak J*ja di perpus, kami sampai di liatin terus oleh beliau. Ya iya lah, kita duduk di lumayan depan, eh dia ngoceh terus tanpa peduli. Saking sebelnya, saya sampai harus menggambarkan sesuatu, biar dia diam sejenak, heuheu..

Ini gambarnya :






Kadang pendapat-pendapatnya ada benernya juga sih. Cuman ya itu tadi, suka gak liat-liat tempat,heuheu..

Dulu, males banget kalau "ketiban sial" harus mendengar dan "menemaninya" berbicara saat kuliah seperti itu. Sekarang, rasanya rela deh buat "ketiban sial" lagi.


For everything in our friendship, i turn to you, Son.

(klo masih ada, pasti protes karena manggil nama doang, gak pake embel-embel "kang". Gak hormat sama yang lebih tua katanya,hehe..)