Senin, Mei 30, 2011

Day #10 : Sometimes, harus memilih

Suatu hari, sahabatku yang sudah berkalang tanah itu, pernah berkata :
"Mi, emang alus sih nya kamu sok berada di tengah-tengah, netral kitu. Tapi tetep, nu ngarana hirup suatu saat urang kudu milih rek aya di posisi mana. Rek kiri, rek kanan. Teu bisa saterusna di tengah-tengah. Misalkan aing, kan geus memilih jalan kiri, hahahahaha!"

Terjemah:
"Mi, emang bagus sih kamu suka berada di tengah-tengah, netral begitu. Tapi tetap, yang namanya hidup suatu saat kita harus memilih mau berada di posisi mana. Mau kiri, mau kanan. Gak bisa selamanya di tengah-tengah. Misalnya gue, kan udah memilih jalan kiri, hahahahaha!"

Sepengamatan dia, aku memang selalu berada di posisi tengah-tengah. Aku berpenampilan seperti "akhwat" -katanya-, tapi aku tidak masuk ke organisasi aktivis dakwah manapun. Kesannya, aku tidak ke kanan-kanan an. Dan meski penampilanku seperti tadi itu, tapi -katanya lagi- aku tidak alergi atau anti dengan kegiatan atau pemikiran orang-orang yang mengaku kiri. Ke kiri-kiri an pun, aku tentu tidak. Jadi, aku tidak fanatik dengan salah satu, pun tidak resisten dengan salah satu.

Lantas ku pikir, apa salahnya? Karena dulu rasanya aku pernah membaca hadist yang menyuruh kita untuk tidak terlalu fanatik akan sesuatu. Tapi memang, pandangan fanatik bagi setiap orang berbeda-beda. Mungkin ketika seseorang di anggap fanatik oleh orang lain, tapi dirinya sendiri menganggap hal tersebut masih wajar-wajar saja.

Dan sahabatku itu bilang, kalau nanti ada konflik antara kiri dan kanan, apa aku akan tetap di tengah-tengah? Jadi menurut dia, suatu hari nanti aku memang harus menentukan sikap, mau memilih yang mana.

Ah, aku selalu pusing dengan semua dikotomi itu. Kenapa harus ada kanan-kiri, barat-timur, dan bla--bla..bla.. lainnya.

kemarin-kemarin, ketika ngobrol dengan tukang buku bekas yang di gegerkalong, dia pun melontarkan opini yang mirip. "Kamu mah orang nya petualang ya. Semua nya di masukin. jadi kamu mah mengambil yang baik-baik nya aja dari semua."

Mungkin dia mendasarkan pendapatnya itu dari buku-buku yang kadang ku beli atau ku pinjam dari kios nya. Aku istilahnya tidak pilih-pilih buku. Membaca buku tentang agama Islam yang bisa menguatkan iman, ataupun buku-buku sosial, filsafat,dll yang kira-kira bisa memperkaya cakrawala pemikiran ku, kenapa tidak?

Apa seseorang yang beriman atau yang kuat imannya tidak boleh membaca tentang filsafat atau hal-hal berbau sosialis? (mungkin takut nya jadi sesat gitu?), atau seorang filsuf maupun seorang sosialis tulen tidak boleh mejadi sosok yang beriman?

Lantas kupikir, apa salah nya aku mengambil pelajaran-pelajaran baik dari hal-hal yang ku pelajari

Minggu, Mei 29, 2011

Day #9 : Kacau

dkgsldhgkdfhlkfmhlfmhlkzdhfjhdg fldh nfgmhglhmjfgjhdlk
hlfdjklfmhldkfmhlkdjhisjhlksfhnldfkhnld;kjmkfg
ldkhdlfjyhdifhiuhiosfopfshjpdojhpodjfdopj
jkxnhjkdhlkfdjml;fgjm;fgmjdmj;lfjm;gljm
dfhkfjhlkfjhl;fjm;lfj;fkjf;jm,f;lj,y;'
lktjuyti;ty,ity';,ity;'lkopfgknjoifndxlsmhd;'jm'f;
ldfkghmlkdfhnlkfmj;flmj;fmjflgjmfl;gmf';mjf';kmf';
dlk
dkgsldhgkdfhlkfmhlfmhlkzdhfjhdg fldh nfgmhglhmjfgjhdlk
hlfdjklfmhldkfmhlkdjhisjhlksfhnldfkhnld;kjmkfg
ldkhdlfjyhdifhiuhiosfopfshjpdojhpodjfdopj
jkxnhjkdhlkfdjml;fgjm;fgmjdmj;lfjm;gljm
dfhkfjhlkfjhl;fjm;lfj;fkjf;jm,f;lj,y;'
lktjuyti;ty,ity';,ity;'lkopfgknjoifndxlsmhd;'jm'f;
ldfkghmlkdfhnlkfmj;flmj;fmjflgjmfl;gmf';mjf';kmf';
dlk

Day #8 : Sidang-Sidang Ricuh

Waaaaaa!!! Lupa postiiiinggg!!! Semalem tidur nya kebablasaaaaaannnnn!!!

Kemarin malem, sebenernya mau posting tulisan ini...

Beberapa hari ini, cukup banyak ku dengar berita tentang kongres PSSI yang gagal dan di lengkapi dengan kericuhan segala dari para peserta nya. Duh...
Jadi teringat, kalau sidang DPR juga pernah ricuh. Padahal semua peserta nya "orang terhormat" semua.
Teringat lagi akan kongres-kongres beberapa partai atau organisasi kepemudaan yang biasa nya tak jauh beda. Pasti saja ada bumbu-bumbu kericuhannya.

Jumat, Mei 27, 2011

Day #7 : Berkawan Denganmu

Berkawan denganmu, seperti “Berpacu dalam melodi”
Harus siap menebak lagu hati, di tiap episode yang kita lalui
Berkawan denganmu, tak ubahnya bagai “komunikata”
Setiap saat meraba-raba asa, antara ragu dan ada

Berkawan denganmu, tergerus “Fear Factor” ku
Tak ada ku jumpa dengan putus asa
Berkawan denganmu, bagai menyenandung “Happy Song”
Hadirkan selalu tawa yang tak pernah bohong

Kadang aku memendam tanya “are you smarter than a 5th grader?”
Saat kau muncul membawa tingkah kanak-kanakmu
Tapi kalbu gegas menjawab, kau tetap yang “Ranking 1”
Karena memang tak ada juara sepertimu

Kamis, Mei 26, 2011

Day #6 : Tentang Respek

Di sebuah rumah makan padang, dua orang teman sedang menikmati nasi dan ayam balado sambil menjadi pemirsa sebuah acara televisi yang berjudul Opera Van Java (OVJ). Seperti biasa, ciri khas OVJ adalah "merusak". Maksudnya merusak properti untuk lucu-lucuan. Kali ini ada adegan seorang wanita dracula yang di perankan Nunung, di dorong oleh suami nya (drakula pula) yang di perankan Andre, ke arah sebuah properti yang terbuat dari bahan styrofoam. Kontan saja properti tersebut langsung hancur ketika tubuh Nunung menimpanya. Nunung yang tersaruk jatuh, seketika memancing tawa penonton. Membahana lah seisi studio. Dan sepertinya tak jauh juga keadaannya dengan para pemirsa di rumah yang sedang memanteng chanel TV yang menayangkan OVJ.

Tertawa memang menyenangkan. Dan menyenangkan orang lain adalah ibadah. Begitu biasa nya yang di ucapkan para pelawak (yang kebanyakan slapstik) di televisi. Maka, menertawakan orang yang terjatuh adalah sebuah kesenangan yang menjadi ibadahnya para pelawak. Tapi, apakah istilah ibadah masih benar dalam konteks seperti itu?

Di lain sisi, siapa yang tak tahu acara OVJ yang tayang setiap hari selama 2 jam, dengan rating nya sedang tinggi-tingginya itu. Tayangan yang telah membuat populer Sule dan kawan-kawan, di tonton semua kalangan usia. Dari mulai kanak-kanak sampai dewasa (mungkin juga lansia). Dan merusak properti yang tadi nya adalah sebuah ketidak sengajaan, kemudian menjadi ciri khas tayangan ini. Yang akhirnya juga banyak di tiru acara-acara sejenis. Istilahnya, kalau tidak ada segmen rusak merusak properti yang rubuh akibat tertimpa pemain yang sengaja di dorong atau di jatuhkan, bukan OVJ namanya. Dan kalau tak salah pula, rating OVJ menanjak setelah insiden itu.

Memang, lawakan atau komedi slapstik sudah ada sejak jaman Srimulat dan Dono Kasino Indro. Dan kemasan tersebut tetap bertahan sampai pada generasi OVJ yang sekarang. Namun mungkin yang agak berbeda, Srimulat dan Warkop DKI tidak sebegitu intens nya hadir di rumah-rumah. Dulu, paling seminggu sekali hadir di televisi atau bahkan harus ke bioskop dulu.

Orang dewasa pemirsa OVJ, kebanyakan sudah mampu memilah situasi dan memilih pelajaran dari sebuah tayangan. Tapi bagaimana hal nya dengan anak-anak? Mereka adalah para peniru ulung! Dan kebiasaan yang tertanam sejak kecil, akan sulit hilang dan akan terbawa sampai dewasa.

OVJ tidak hanya mengajak tawa, tapi juga mengajarkan ketidak-respek-an. Ketika ada orang jatuh, di tertawakan. Bukannya di tolong. Bahkan sengaja di jatuhkan, agar kita bisa tertawa. Adegan-adegan (acting) seperti itu yang terlihat setiap hari, kemungkinan besar akan mempengaruhi perilaku anak di kehidupan nyata. Mereka akan terbiasa menertawakan teman yang terjatuh atau tertimpa kemalangan, ketimbang menolong nya. Semakin sering tertawa di atas kemalangan orang lain, buntutnya nanti, kemalangan orang lain akan menjadi sebuah hiburan tersendiri. Mungkin sekarang masih sebatas menertawakan hal-hal yang secara fisik. Tapi kalau sudah sampai membiasa, tak heran apabila kelak anak-anak itu dewasa, akan merasa senang melihat orang lain ketiban sial. Tak ada lagi respek. Adakah OVJ telah "merusak" hal lain di luar properti?

Lalu dua orang kawan yang sudah mulai tidak respek dengan acara OVJ tersebut, meninggalkan rumah makan padang dengan membawa perut kenyang. Masih sebatas kenyang karena nasi, bukan kenyang menertawakan kemalangan orang lain.

Rabu, Mei 25, 2011

Day #5 : Hidup Adalah Jalinan Pilihan

Teringat dengan buku cerita waktu kanak-kanak yang memberikan beberapa pilihan jalan cerita, sehingga satu cerita bisa memiliki ending yang berbeda-beda tergantung jalan cerita mana yang di pilih. Pun, hidup adalah tentang memilih jalan cerita. Mungkin di Lauhul Mahfudz sana, sudah tertulis beragam ending untuk kisah kita. Lalu, Tuhan memberikan kehormatan, untuk memilih jalan masing-masing.

Kejadian-kejadian hari ini membuatku semakin yakin bahwa hidup adalah soal memilih. Pilihan kita tidak hanya berpengaruh tok pada saat kita sedang menentukan pilihan. Tapi itu bisa berakibat pada kejadian-kejadian selanjutnya. Malah mungkin mengantarkan kita pada hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan.

Hari ini, keputusanku untuk menunda salat dzuhur, mengantarkanku pada handphone cantik dan Chopin yang membuat tersenyum.

Sepulang mewawancarai Guru di sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke BEC, memperbaiki printer yang ngadat. Setelah sebelum nya sempat pusing ketika mentranskrip hasil wawancara. Karena rekaman hasil wawancara ternyata tidak ke save. Celakanya, aku pun tidak menuliskan jawaban2 ketika wawancara, karena mengandalkan rekaman. Aku menunda shalat dzuhur, karena kamar super berantakan. Ku rencanakan, akan shalat di Gramed saja setelah mengantar printer.

Tak dinyana, ketika di toliet saat aku akan buang kecil terlebih dahulu sebelum wudhu, handphone ku kecemplung di WC. Beberapa detik sebelumnya, sebenarnya aku akan menyimpan dulu handphone di tas. Tapi ternyata aku lebih memilih untuk menyimpannya di saku kardigan yang dangkal. Maka, terjadilah tragedi itu. Namun, hidup adalah pilihan. Handphone kecemplung adalah hasil dari pilihan keputusanku.

Aku hanya tertawa. Mencoba untuk berperasaan positif. Setelah mumet memikirkan deadline penyerahan BAB 1-5 yang tinggal 6 hari lagi, eh hasil wawancara malah tak terekam, printer rusak, acara kaderisasi (dimana aku jadi ketua nya) belum ada progres padahal tinggal 1 bulan lagi, di tambah handphone yang kecemplung. Lantas, apa lagi Tuhan? Seandainya menangis akan menyelesaikan masalah, maka aku akan menangis sejadi-jadinya.

Lalu aku mulai mengurai pengandaian. Seandainya tadi aku shalat dzuhur dulu sebelum berangkat, mungkin aku tidak perlu ke toilet. Dan kalau aku tak ke toilet, kan kemungkinan handphone tak akan kecemplung. Namun lagi-lagi, hidup adalah pilihan. Dan konsekuensi akan selalu menyertai.

Setelah Salat Dzuhur di Gramed, lantas aku melanjutkan rencanaku untuk ke perpus UPI. Tapi karena handphone ku tak bisa di nyalakan lagi, maka aku ke tukang servis dulu yang ada di gerlong. Karena sudah jam 3 lewat, perpus bagian skripsi dan tesis pasti sudah tutup. Sehingga batal lah aku ke perpus.

Tapi keputusan untuk ke tukang service itu, mengantarkanku pada handphone VITELL ala kadarnya seharga 100 ribu. Ku beli, karena aku butuh alat komunikasi yang bisa nge-sms melakukan dan menerima panggilan.

Uang di dompet yang 100 ribu habis. pun pulsa ku habis. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke ATM BRI di DT, karena tak ada uang untuk beli pulsa. Setelah ambil uang dan isi pulsa, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah conter pulsa dan hp second di pinggiran jalan gegerkalong girang. Dan ternyata, di sana ada handphone sonny ericsson dengan model impianku untuk menggantikan si erik (hp SE juga) yang sedang koma. Dan aku berencana akan melakukan eutheunasia terhadap nya. Karena keadaannya sudah memilukan. Oh,ya hp yang kecemplung itu bukan si erik. Tapi nokia jadul milik ibu ku yang ku pinjam untuk menggantikan erik sementara waktu.

Lantas aku mengurai lagi. Oooo, aku mengerti sekarang. Tuhan membuat handphone nokia kecemplung, agar aku dapat melihat si cantik erika (hp SE dengan model impianku itu). Kalau nokia tak rusak, aku tak akan ke tukang servis. Kalau tak ke tukang servis, aku belum tentu beli VITELL. Kalau aku tak beli VITELL, belum tentu aku ke ATM ngambil uang untuk beli pulsa. Kalau aku tak ke ATM, belum tentu aku bertemu si Erika.

Sejenak aku senang. Tapi kesenanganku berkurang ketika aku ternyata belum bisa memiliki si Erika karena keuangan yang tak memadai. Lalu aku sedikit menyesal. Kenapa harus lewat jalan sini dan melihat Erika. Klo ternyata aku belum bisa memiliki nya. Namun kemudian aku bersyukur kembali. Karena paling tidak, aku sudah punya handphone "kecengan". Tinggal mengumpulkan pundi-pundi rupiah saja. Tapi itu pun harus berkejaran dengan waktu, sebelum ada orang lain yang menyambar Erika.

Kemudian ku analogikan kejadian ini dengan ketika kita pernah bertemu seseorang. Saat orang itu ternyata kita sukai, maka kita merasa beruntung bisa bertemu dengan orang tersebut. Tapi ketika ternyata orang itu tidak bisa menjadi milik kita, maka tiba-tiba kita berkata "kenapa kita harus bertemu kalau ternyata menyisakan rasa sakit?" (biasanya kan sakit hati klo kasih tak sampai,hehe..)

Maka, hidup adalah jalinan pilihan. Bukan semata pilihan keputusan, tapi juga pilihan bagaimana kita akan berperasaan.

Selasa, Mei 24, 2011

Day #4 : Para Pecinta Itu

Aku sudah banyak melihat orang yang tidak mencintai pekerjaannya. Banyak mengeluh, tapi tetap mengerjakannya. Karena hari gini, susah dapat kerja. Dan mereka kelihatannya tidak bahagia.
Aku banyak melihat orang-orang yang tidak menyukai apa yang dikerjakannya. Tapi tetap saja melakukannya.

Senin, Mei 23, 2011

Day #3 : Kecolongan

Waktu kecil, atau sebutlah ketika masa sekolah ku di kota Garut, aku sering menyusuri jalan di pusat kota, yang lebih beken disebut pengkolan. Sering kutemukan beberapa pengemis yang melapak di beberapa titik. Biasanya kondisi mereka membuat kita sedikit maklum mengapa mereka terpaksa melakukan hal itu.

Seperti seorang bapak buta berpakaian hitam yang melapak di depan toserba Asia, seorang ibu kurus dengan anaknya yang juga kurus yang kadang sampai terlelap di tengah deru langkah orang-orang di depan toko elektronik “Djoe Loeng”, seorang laki-laki cebol berkumis tipis yang cacat kakinya dan melapak di depan toko Sumatra, juga seorang bapak buta yang menggendong anak di punggunya dan tak pernah berhenti merafal kata-kata. Ajaib, si bapak tersebut seperti kaset yang tak kenal lelah.

Awalnya tak kumengerti bapak itu merafal apa, karena bicaranya tanpa titik koma. Tapi setelah beberapa kali lewat, aku akhirnya bisa menangkap kata-kata itu. Yah, semacam jurus meminta-minta sambil mendoakan. Lupa lagi lengkapnya seperti apa, tapi kira-kira begini: kasadaya.. bla..bla..bla..mugia dipasihan kasalametan.. bla..bla..bla... (artinya : kesemua nya..bla..bla..bla.. semoga diberikan keselamatan..bla..bla..bla..). Dan pasangan bapak anak yang satu ini biasanya cenderung nomaden. Kadang kapling nya di depan toko baju, kadang di depan toko makanan. Yah, tergantung mood nya kali ya,hehe..

Begitulah sedikit nostalgia dengan pengemis-pengemis Garut jaman dulu (halah..). Bagaimana dengan sekarang ya? Waktu kecilnya mungkin mereka tak membayangkan akan jadi seperti ini. Karena, siapa juga yang kecilnya punya cita-cita jadi pengemis.

Selepas SMA, aku menginjakan kaki di kota Bandung, emak nya Jawa Barat. Menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, ceritanya. Alias kuliah. Dan dari kota ini, mulai ku kenal sebuah istilah yang namanya “anak jalanan”. Ya, anak yang kebanyakan menghabisakan kesehariannya di jalanan, bahkan sampai tidur di jalanan. Jadi bisa disebut lah klo jalanan adalah rumah mereka.

Menurutku, ada 2 tipe anak jalanan di sini. Pertama, anak yang mengamen . Kisaran usia SD sampai SMA. Sepertinya sih mayoritas, karena dengan mudah bisa kita temui klo pas lagi naek angkot atau lagi makan di warung-warung tenda. Pemandangan pengamen cilik yang loncat naik atau turun dari angkot, sudah menjadi hal biasa.

Kedua, anak yang mengemis. Biasa nya masih pada bocah-bocah banget. Ngelap ingus aja kayaknya baru belajar. Kisaran usia balita atau SD kelas 1-2 (klo sekolah sih itu juga). Tapi jangan salah, ni bocah-bocah punya jurus meminta-minta yang militan. Klo belum di kasih, terus ngejar-ngejar. Mendesak-desakan tangan mungilnya ke badan kita. Pas gak di kasih juga, eh langsung nangis keras. Kesannya abis di apain gitu sama kita. Daripada malu di sangka ngapa-ngapain dan gak mau ambil pusing, biasanya tuh anak ada yg di kasih duit juga akhirnya. Kayaknya ini strategi yang udah di ajarin para emak (atau wanita-wanita yang membawanya) yang mengawasi mereka dari kejauhan.

Duh, Bandung..Bandung.. untung di Garut kagak ada yang beginian.. (begitu pikirku saat itu)

Ealah, ketika kembali lagi ke Garut, ku sadari ternyata pemandangannya sekarang tak jauh beda dengan Bandung. Di Garut, anak jalanan pabalatak, alias ada di mana-mana. Kayaknya, ada aja di tiap tikungan. Kebetulan waktu itu sedang iseng jalan-jalan di daerah kota. Baru jalan beberapa langkah, udah nemu anak jalanan. Beberapa langkah, nemu yang lain lagi sampai beberapa kali. Apalagi kalau menyempatkan diri berdiam sejenak di pelataran Masjid Agung. Pasti tak cuman sekali ada anak kecil yang menghampiri untuk minta uang. Sampai-sampai kupikir, kalau membandingkan luas wilayah perkotaan Bandung dengan jumlah anak jalanannya, jangan-jangan rasio kota Bandung dan Garut tak jauh beda. Padahal wilayah Garut tentu saja lebih kecil dari Bandung.

Aku tak tahu pasti kapan anak jalanan di Garut mulai marak. Yang ku tahu, tiba- tiba saja sudah banyak. Selama menetap di Bandung, aku kurang memperhatikan keadaan sekitar kota ku sendiri. Kalau pun pulang kampung, biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga.

Kurasa, ada perbedaan yang cukup mencolok antara anak jalanan di Bandung dengan di Garut. Kalau di Bandung, ku lihat lebih banyak yang tipe pengamen nya. Masih ada lah usaha nya. Tapi di Garut, kebanyakan tipe pengemis nya, dengan militansi dan kemampuan maksa-maksa nya yang gak jauh beda dengan bocah-bocah di Bandung. Dan di sini, jarang kulihat yang ngamen nya.

Orang tua mereka pada kemana ya? Katanya sih, sedang mengawasi juga dari jauh. Dulu, ada orang tua yang terpaksa mengemis biar anak nya bisa makan. Sekarang, anak-anak yang terpaksa ngemis (di suruh, atau bahkan di organisir ya?) kali ya, biar orang tuanya bisa makan. Dulu, mengemis adalah sebuah keterpaksaan karena keadaan. Sekarang, mengemis sepertinya sudah jadi suatu profesi pilihan.

Baru kusadari, kalau kita kecolongan. Dengan kondisi anak-anak Garut yang banyak seperti itu, kira-kira kota Garut beberapa tahun ke depan akan seperti apa ya? Kecil-kecil udah terbiasa ngemis, kemungkinan pas gede nya juga gak bakalan jauh. Lha, ntar banyak orang dewasa yang pengemis dong. Trus ntar klo punya anak gimana? Apa mau di ajarin ngemis juga? Jangan-jangan orang tua dari anak-anak yang sekarang suka ngemis itu, dulu nya adalah anak seorang pengemis juga. Wah, jangan sampai mengemis adalah sebuah faktor keturunan.

Dan jangan lupa, anak-anak jalanan itu juga kecolongan sebenarnya. Karena hak nya yang seharusnya cukup bermain dan belajar, terampas/ di rampas oleh orang-orang dewasa. Mereka tak cukup punya daya. Orang-orang dewasa lah yang mengkondisikan mereka menjadi seperti itu.

Yang jelas, ada yang harus kita lakukan. Tidak cukup dengan peduli terhadap mereka hanya setahun sekali pas bulan Ramadhan. Judulnya biasanya, buka puasa bareng anak jalanan. Atau, bakti sosial untuk anak-anak jalanan. Dan dengan berfoto bersama, tampaklah kita seperti seorang atau kelompok dermawan yang betul-betul peduli akan nasib mereka. Seremonial seperti itu kah yang mereka butuhkan? Itu tidak mencabut akar masalah. ("Trus urang kudu kumaha atuh?" ceuk nu maca teh, hehe..)

Mungkin anak jalanan adalah bukan sebuah sebab. Tapi sebuah akibat. Akibat dari permasalahan-permasalahan orang dewasa yang terbengkalai. Jadi buat para orang dewasa, cepat selsaikanlah masalah mu. Anak-anak tak bisa di biarkan terlalu lama menunggu!

Baru teringat, dulu semasa sekolah, ada rumah singgah buat Anak Jalanan di pinggir halte, sebrang toserba Jogya. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak ada lagi. Kemana ya? Dan itu pun milik swasta bukan pemerintah. Lantas, pemerintah Garut lagi kemana ya?. Kalau mengikut ke gaya lantang mahasiswa, selama ini anak jalanan yang notabene terlantar, belum di pelihara oleh Negara. Maka, gagal lah pemerintah dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945!

Namun tiba-tiba ada satu pertanyaan yang membikin jangar. Selama ini saya kemana aja ya?

Minggu, Mei 22, 2011

Day #2 : Kakek di Balik Jendela

Hari ini, di bus menuju Garut, aku duduk di sudut "Winter Sonata". Kusebut begitu karena ceritanya, di sudut inilah mulai muncul semacam percikan di antara kedua tokoh serial tersebut. Sudut itu adalah tempat duduk paling belakang sebelah kanan, sejajar dengan supir. Beginilah gambarannya..



Sepanjang perjalanan ke Garut, biasanya aku tertidur atau menyengaja tidur. Bangun hanya ketika sudah sampai terminal. Keseringannya pulang hari Sabtu sih. Dimana banyak orang yang berpikiran sama untuk juga pulang di hari itu,hehe..

Tentu konsekuensinya adalah macet. Dan apa yang bisa kunikmati dari kemacetan? Gak ada. Jadi, mending tidur. Minimal gak banyak ngeluh selama dalam bus. Kadang juga baca buku sih. Tapi angin AC sepoi-sepoi suka merayu mata untuk terpejam. :-D

Namun hari ini agak berbeda. Mungkin karen hari minggu juga. Jadi yang macet nya arus balik, bukan yang dari arah Bandung ke Garut. Semalemnya tidurku juga lumayan cukup. Alhasil, aku "melek" all the way. Lantas, apa yang harus kulakukan di tengah-tengah mata yang terbuka?

Iseng, ku buatlah sketsa tentang apa yang ku lihat di depan mata. Lumayan, ada dua lembar oret-oretku. Yang satu tentang penumpang bus yang berdiri, kedua tentang pohon rindang yang kulihat saat bus nge-tem sejenak.

Tak lama, mulai bosan deh bermain sketsa. Ngapain lagi ya? pikirku..

Aha! Di ransel ku ternyata ada kamera digital pinjaman dari seorang teman. Mulai lah aku bermain menangkap gambar-gambar yang ku lihat di sepanjang perjalanan. Dari mulai tukang tahu, pengamen, penumpang yang tidur, sampai pemandangan.

Jeprat! Jepret! Jeprat! Jepret!

Di tengah-tengah "pemotretan", baru kusadari bahwa seorang kakek yang duduk tepat di depanku, pandangannya selalu terarah ke luar jendela. Dalam hati aku bertanya, "Ngeliatin apaan sih, kek?". Malah jadi teringat sama cerita Toto Chan : Gadis Cilik di Jendela. Anak kecil yang di sekolahnya selalu ngeliat ke luar jendela.

Lantas, sang Kakek tiba-tiba menjadi objek paling menarik dari seisi bus. Penasaran. Ku tangkapi setiap pandangannya keluar jendela. Waktu ngangkat telfon pun, nengoknya tetap aja ke jendela.




















Pikirku, hmmm.., mungkin sang kakek sedang mengalami hal yang sama sepertiku. Terbiasa tidur dalam perjalanan, dan tiba-tiba hari ini matanya melek. Tak tahu matanya harus di apakan, jadilah matanya meraba-raba ke luar jendela.

Berapa lama kemudian, sang kakek hendak turun di tengah perjalanan. Baru kupikir, oh mungkin beliau dari tadi ngeliat ke luar karena takut kelewat tempat tujuannya. Mungkin hanya ingat samar-samar tentang patokan di mana harus turun. Mungkin juga sambil mikir "kelewat gak ya? kelewat gak ya?". Tak tahu lah. Tak sempat nanya juga.

Untuk yang terakhir, ku tekan beberapa kali tombol kamera yang terarah pada punggung kakek.





Maka, berpisahlah kami. Dua orang yang tak saling kenal.

Sabtu, Mei 21, 2011

Day #1 : Merayakan Kembali

Bukan kebetulan sepertinya. Ketika kemarin aku menulis larik-larik berjudul "Menolak Rindu", dan hari ini aku berpapasan begitu saja dengan #30harimenulis. Lalu, aku menemukan cara untuk melawan lupa. Sepertinya harus kuceritakan dulu tentang seseorang.

Sonny namanya. Seorang sahabat. Bukan hanya bagiku. Pun bagi kebanyakan orang yang mengenalnya. Salah satu kawanku pernah menjuduli kami "soulmate". Padahal judul yang lebih klop adalah "tukang ojek dan langganannya", hehe... Dia sangat suka menulis. Menulis adalah rumah pohonnya. Dari rumah pohon itu, terbit sebuah buku berjudul CBSA-Catatan Bodoh Siswa Aktif. Buku pertama dan terakhir. Karena sebelum buku kedua terbit, dia keburu berkalang tanah.

Tapi kira-kira jauh sebelum itu, dia mengajaku untuk merasakan asik nya punya rumah pohon. Dia mengajaku menulis. Satu hari, satu tulisan. Dengan tema sama yang di tentukan secara bergiliran. Deadline nya adalah jam 12 malam. Seperti Cinderella. Lewati deadline, siap-siap saja kena kutukan seperti dalam Harry Potter. Dia akan mengeluarkan mantra nya untuk merubahku jadi kodok. Untunglah, mantra nya tak pernah manjur. :p

Karena suatu hal, keasyikan itu hanya bertahan sementara. Tidak ada lagi Cinderella. Habis sudah. Dia masih memelihara rumah pohonnya. Sedang aku tidak. Rumah pohonku hilang begitu saja.

Sampai suatu waktu, aku rindu dengan asiknya rumah pohon. Tapi tak ada lagi yang bisa menemaniku jadi Cinderella.

Mungkin selama 30 hari ini aku akan membingkai setiap memory tentang nya sebelum di makan lupa, ataupun bisa jadi menulis tentang hal lain. Namun yang jelas, proyek #30harimenulis ini adalah caraku untuk tetap mengingatnya nya. Merayakan kembali keasyikan kami setiap hari.

Jumat, Mei 20, 2011

Menolak Rindu


Hanya aku yang boleh rindu?
Tidak bisa
Karena hangatnya, selalu seperti mentari yang berbinar ke segala


Hanya kamu yang bisa rindu?
Bagaimana bisa
Ketika jaring-jaring nya sudah terpintal denganku, kamu, mereka


Aku selalu menolak untuk rindu
Karena rindu hanya untuk yang berjarak, yang tak dekat
Tapi rindu malah berlari pada ku
Memaksa untuk menghitung tentang jauh


Bukannya aku ingin lupa
Bahkan kupunguti jejak yang berserak
Biar tak pudar bersama hujan rintik-rintik


Ku bingkai, agar aku ingat
Agar aku tak perlu rindu.

Aku Punya Kawan


Aku punya kawan. Karib. Seperasaan ku, kami karib. Karena, karib tercipta ketika kita berani membagi hal yang paling sulit kita bagi dengan kawan lain. Karib termaknai ketika dia sering berada di urutan pertama, saat kita merasa sudah saatnya mencari dua tangan tambahan.


Kawan, berarti kenal. Karib, berarti tak canggung. Sebelum "hari itu", kami masih saling bertukar peran tentang siapa yang iseng dan siapa yang terkena iseng. Tawa pun menjadi hal yang kurang berharga, saking sering nya kami dapati.


Aku tahu, kawanku sering membungkus kedewasaannya dengan kekanak-kanakannya. Namun, bisa ku lihat kedua nya dengan jelas. Kedewasaannya lah yang sering kali menuntunku keluar dari labirin masalah. Dan kekanakannya, membelajarkan ku untuk mengalah.


Tapi setelah "hari itu", kawanku jadi lain. Tak mau lagi sepertinya dia beradu bola mata. Diam nya semakin banyak. Tapi rasanya hanya terhadapku kediaman itu berlaku. Kalau sekali, ku maklum. Mungkin kawanku ini sedang bad mood. Tapi ketika berkali-kali, rasanya ku yakin, aku lah penyebab bad mood nya itu.


Bicaranya terasa lebih lancar dalam baris-baris huruf di telfon seluler daripada saat bertemu di kota kecil. Itu yang ku heran. Tawa nya mahal sekali. Jangan kan tawa, senyum nya pun tak sanggup ku cicil. Sikapnya seolah-olah tak kenal. Membuatku canggung.


Menggodanya bak anak kecil, biasanya "biasa". Tapi sore itu lain. Ada kata "Oh, jadi merasa paling dewasa ya?" yang meluncur dari alat bicaranya dan dengan tambahan ekspresi yang asing buatku. Marah? Kutanya. Tidak, jawabnya. Tapi kurasa, ekspresi asing itu adalah marah nya yang pertama untukku.


Apakah telah ku singgung harga dirinya? Ataukah telah ku langgar benar privacy nya?


Utarakan, apa yang sebenarnya salah? Biar tak terus saja terusik rasa bersalah. Bisa kah kita membicarakannya dalam suara, dalam hingar? Tidak hanya dalam diam. Jika katanya tak marah, kenapa hanya rasa canggung yang di izinkan mengada?


Entahlah. Apakah aku memang benar dalam merasa, atau hanya sekedar merasa benar dengan perasaan.


Masihkah kita berkawan?