Selasa, Februari 15, 2011

Cikeusik: Siapa keji siapa munkar?

“Allahu Akbar!”, kalimat takbir itu meluncur dari mulut seorang laki-laki bersarung dan berkopiah, seiring dengan ayunan tangannya yang memukulkan kayu penuh nafsu pada seonggok tubuh tak berdaya, yang berlumur darah dan tanah. Entahlah, tubuh itu masih bernyawa atau tidak. Yang pasti, aku merasa tidak melihat Islam di sana.

Kutimbang-timbang, rasanya Rasulullah pun tidak pernah mengajarkan untuk membela agama Allah dengan cara sekeji itu. Rasulullah selalu berusaha untuk berunding dengan kaum sekafir apapun. Perang pun dijalani hanya apabila terpaksa, ketika kaum Muslim terdesak karena di serang terlebih dahulu. Dan kejadian di Cikeusik pun rasanya bukan dalam konteks perang, tapi murni sebuah pengeroyokan. 1500 massa bersenjata menyerbu segelintir warga Ahmadiyah yang tak bersenjatakan apa-apa. Sungguh tak imbang.

Orang-orang disekitarnya terlihat hanya menonton, bahkan mengabadikan tubuh-tubuh tak berdaya itu dalam jepretan kamera handphone. Aparat yang berjumlah sedikit pun sungguh terlihat lemah, hanya bisa menghalau seperti petani pada ternaknya. Padahal di depan mata kepala nya sendiri, sang lelaki bersarung saling bergantian dengan rekannya, masih memuaskan nafsu dengan terus menghantamkan kayu pada onggokan tubuh tadi. Beberapa langkah dari sana, terbujur pula tubuh seseorang tanpa pakaian,yang tak berjauhan nasib. Di lempari batu oleh orang-orang di sekitarnya. Lafadz suci “Allahu Akbar!” terucap saling bersahutan, tapi yang terdengar seolah-olah adalah kata “Rasakan! Rasakan!”.

Apa yang sesungguhnya ingin mereka perlihatkan? Kebesaran Allah dalam sebuah kekerasan keji kah? Apa yang sesungguhnya ingin mereka bela? Agama Islam kah? Maka, sukses sudah mereka menjadi ambasador dalam mempromosikan Islam sebagai agama kekerasan, bukan keselamatan.

Sabtu, Februari 12, 2011

Bicara



Dulu kau takut dengan cerita hantu. Kalau ada orang yang bercerita tentang hantu, selalu kau suruh diam atau suruh ganti topik. Rasanya geli melihat laki-laki takut cerita hantu. Ya, yang lain juga mungkin takut, tapi tidak terang-terangan sepertimu.

Sekarang kau sudah tiada. Di film-film, terkadang orang yang sudah tiada bisa menjelma jadi hantu. Apakah kamu juga bisa begitu? Kalau benar bisa, pasti kau sudah tidak takut hantu lagi. Atau malah semakin takut, karena kau sekarang yang jadi hantu nya? Maaf, khayalku terkadang suka kurang ajar.

Sempat aku berharap kalau kau tiba-tiba saja muncul (seperti hantu di film), biar kita bisa bicara lagi. Tapi jangan berupa yang menakutkan. Aku juga takut kalau begitu. Tapi apa iya aku juga tidak akan takut kalau kau tiba-tiba muncul? Meski dalam wujud paling normal sekalipun.

Terkadang aku merasa kau masih ada. Mungkin kau sedang menulis buku barumu sambil merokok, atau sedang begadang bersama teman-temanmu, atau bertengkar dengan pacarmu. Dan esok harinya, kita minum kopi bersama si Menwa di Kafe UPINet, sambil mengolok-oloknya tentang pacar-pacarnya di dunia maya. Atau kita makan siang di kantin FIP dengan Kang Iyus, sambil mendengarkan ocehanmu yang sungguh membuatku selalu ingin segera angkat kaki dari situ.

Aku hanya ingin kita bisa bicara lagi. Itu saja.