Rabu, Juni 08, 2011

Pemaaf dan Peminta Maaf




Pemaaf dan Peminta Maaf
Aku pernah berada di posisi kedua nya. Ketika suatu waktu aku berada di posisi seorang yang di mintai permintaan maafnya, aku akan merasa agak kesal jika sang peminta maaf terlalu banyak beralasan. Meminta maaf adalah menerima dan mengakui bahwa kau salah. Tak usahlah berpanjang-panjang dengan alasan yang melatarbelakanginya. Karena, ketika kau semakin memperpanjang alasan, maka permintaan maaf mu serasa tak tulus lagi. Serasa masih ada ego tersisa bahwa kau tidak ingin di salahkan. Bahwa kau sebenarnya tidak merasa bersalah. Lebih jauhnya, sang pemaaf akan berpikir oh, jadi lu pikir lu gak salah ya, jadi gua gitu yang salah? Hah?!

Tapi ketika ada peminta maaf yang tak banyak beralasan pun, akan terasa ketidakpuasan. Biasa nya akan dikejar alasan-alasannya dengan pertanyaan, kenapa lu gitu ama gua? Lu gak mikir ya? Gimana rasanya klo gua yang ngelakuin ini ke elu!Gampang banget ya, lu minta maaf! Lu pasti nganggap ini sepele. Padahal ini penting buat gua!

Begitulah, ketika perasaan sang pemaaf sudah tersayat. Apalagi ketika itu di lakukan oleh orang yang dekat. Rasanya lebih perih berkali lipat. Sebenarnya dia sendiri sedang berusaha mencari obat. Karena rasa sakit yang menghebat ketika berkelebat dalam benak, kenapa dia orang yang paling bla..bla..bla..tega sama gua.. Rasanya ingin segala itu tak pernah terjadi. Agar tak perlu merasa luka seperti saat ini.

Pantas saja dikatakan, memaafkan adalah pekerjaan paling sulit. Orang yang dapat melakukannya bahkan disebut mulia. Ya, karena pada dasarnya kita sedang bertarung dengan diri sendiri. Ada satu sisi ingin memaafkan dengan tulus. Tapi ada sisi lain yang menariknya kembali. Sisi yang terkadang berkata gak akan gua maafin sampai lo merasakan apa yang gua rasakan.

Ada dua versi rasa ketika member maaf. Pertama, setelah berjumpalitan berusaha berdamai dengan hati, hati mulai mereda, mulai bisa menerima, mulai dapat melupakan, maka terucap “ya, aku memaafkanmu”. Versi kedua adalah ketika kata “ya,aku memaafkanmu”, adalah saat sebenarnya kita baru memulai untuk mendamaikan hati. Baru terlintas untuk melupakan. Maka biasanya, ketika versi pertama terjadi, keadaan akan bisa lebih cepat kembali seperti biasa. Bahkan sedetik setelah kata memaafkan itu terucap. Karena sebelumnya kita telah berhasil memenangkan perang batin. Namun, ketika versi kedua yang berlaku, jangan harap semua nya bisa secepatnya kembali seperti biasa. Karena ada hati yang sedang berproses. Maka tunggulah. Bersabarlah. Jangan memaksa agar dengan seketika, semuanya kembali seperti semula.

Lantas, bagaimana dengan sang peminta maaf?

Dia pun sedang berada dalam perang batin. Kadang, tadinya dia tak menyadari ada sesuatu yang salah. Dia merasa baik-baik saja. Tapi ketika radarnya menangkap sinyal-sinyal perubahan, tersentaklah ia. Salah gua apa ya? pikirnya. Maka mulailah ia berspekulasi tentang kemungkinan perbuatannya yang mana yang bisa sampai mendatangkan masalah. Awalnya yang terpikir adalah ah, mungkin ini perasaan gua aja kali ya. Tapi kalo beneran, masa gitu aja marah, biasa aja kali. Lagian gua gak ada maksud buat kayak gitu kok. Jangan terlalu di ambil hati gitu lah.

Namun ketika ia membayangkan apa yang dirasakan oleh sang pemaaf, pikirannya seketika berubah. Terbitlah rasa bersalah. meski memang tak akan pernah benar-benar bisa merasakan hal serupa yang sedang teralami, namun gelisah terlanjur menguasai dirinya sendiri. Ingin rasanya berlari, bersegera meminta untuk di ampuni. Tapi lagi-lagi ego. Tunggu dulu. Malu kalau harus sejenak merendahkan diri di depan orang lain. Meskipun tahu dirinyalah yang salah dan patut melakukan itu. Gile, bisa jatuh harga diri gua! Begitulah kira-kira.

Kemudian terpikir, biarin aja dulu lah, ntar juga biasa lagi. Tapi hatinya tetap tak tenang. Tak nyaman dengan keadaan yang drastis berubah. Maka demi menentramkan hati, bergeraklah ia. Dan tersadar bahwa meminta maaf bukanlah perbuatan rendah.

Saking inginnya di maafkan, dia berusaha keras untuk menjelaskan sampai ke akar-akarnya. Mungkin dengan begitu, sebuah pemaafan akan cepat di dapat, pikirnya. Tapi tanpa disadari, dia akhirnya seperti bukan sedang meminta maaf atas kesalahan, tapi seperti hanya sedang meminta pemakluman. Ya, karena dia sedang memperjuangkan ketentraman hati nya sendiri, agar segera terbebas dari rasa bersalah. Dia akan merasa tentram ketika telah di maafkan, dan dia merasa maaf telah diberikan ketika semua kembali seperti semula. Seperti sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa. Tapi itu mimpi, karena bekas akan selalu ada.

Ketika meminta maaf pun, terkadang kita teringat akan kejadian yang hampir serupa, namun kita mengalaminya dengan orang lain. Lantas, kita menceritakannya, untuk sekedar memohon pengertian dari orang yang sedang kita mintai maaf saat ini. Tapi sang pemaaf merasa, ini bukan saatnya. Yang sekarang sedang berusaha kita damaikan adalah perasaan lukaku akibat kamu. Bukan tentang kamu dengan nya, karena itu bukan urusanku. Akulah pusatnya sekarang. Jangan di campur adukkan.

Waktu ada dalam versi berbeda bagi kedua nya. Sang pemaaf membutuhkannya, sang peminta maaf merasa tersiksa oleh nya. Ketika sang pemaaf butuh waktu, peminta maaf tak ingin lama menunggu. Pada akhirnya, ini bukanlah perang antara pemaaf dan sang peminta maaf. Tapi merupakan proses berdamai dengan diri sendiri.

Namun saat Allah berada di antara kedua nya, terjadilah beda. Ketika sang pemaaf memikirkan bahwa Allah begitu sangat pemaaf, maka ia akan merasa malu dengan keadaannya sendiri. Seketika, semua yang terjadi terasa kecil, terasa tak ada apa-apanya. Ketika sang peminta maaf memikirkan bahwa Allah tak kan memberi maaf sampai orang yang tersakiti mengikhlaskannya, maka yang tadinya terasa sepele, menjadi sesuatu yang teramat besar dan penting untuknya.

Pada akhirnya, ini lebih jauh lagi dari sekedar berdamai dengan diri sendiri. Sang Pemaaf mendekat pada-Nya dengan cara memaafkan. Sang peminta maaf, mendekat pada-Nya dengan cara meminta maaf. Manis, keduanya sedang menuju Allah yang sama-sama mereka cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what's ur comment?