Jumat, Juni 17, 2011

Waiting 'till 27 dresses?

“Bulan ini, siapa lagi teh yang nikah,hehe..?”, tanya Risa sambil agak cengengesan. Maklum, setiap ada undangan pernikahan, aku suka cerita. Dan setelah di review, kami berkesimpulan bahwa setiap bulan, pasti ada saja temanku atau kenalanku yang mengundang ke acara resepsi pernikahan mereka. Bahkan kalau sedang “musim kawin”, dalam hari yang sama bisa ada lebih dari satu undangan. Biasanya pas bulan haji atau selepas idul fitri. Kalau masih satu kota sih, bisa marathon. Pusing nya, kalau sudah berbeda kota. Sama-sama teman, dan harus memilih salah satunya.

Rasanya sudah dari tahun 2009 atau 2010 deh, kebanjiran acara macam itu. Memang, usia pertengahan 20 macam aku adalah usia yang sudah pas untuk menikah. Sedapat mungkin ku usahakan untuk selalu memenuhi undangan, apabila tidak ada urusan lain yang lebih penting atau sangat mendesak. Karena pernah ku baca sebuah hadist, bahwa salah satu hak yang harus di tunaikan muslim pada muslim yang lain adalah memenuhi undangan. Baik pernikahan atau undangan lainnya.

Aku senang bila ada undangan pernikahan dari teman, karena bisa sekaligus menjadi ajang reuni dengan teman-teman yang lain dan yang tak kalah penting adalah… ajang perbaikan gizi, hehe… Teman SD, SMP atau SMA yang sudah tak saling kontak lagi pun, kadang suka di pertemukan kembali. Kapan lagi bisa berkumpul coba? Di saat semua sedang sibuk dengan karier masing-masing.

Pertanyaan standar ketika saling bertemu adalah : “kerja di mana sekarang?”, “si anu ke mana ya, kok gak datang? dan “kapan nyusul?”. Biasanya jarang di dahului dengan pertanyaan “apa kabar, sehat?” atau “gimana kabar keluarga?”. Sepertinya kebanyakan hanya ingin mengetahui “progress hidup” masing-masing. Apakah aku tetap lebih sukses dari dia? Ataukah dia lebih sukses daripada aku sekarang? Ya, wajar memang.

Risa pun pernah nyeletuk, “teteh kapan atuh ngundang? Masa dateng ke undangan orang terus..”. Sebelum ku temukan jawaban yang tepat, Risa langsung menjawab pertanyaannya sendiri, “mungkin ntar kalau udah punya 27 gaun kali ya, hehehe..”. Dia merujuk ke sebuah film Hollywood berjudul “27 Dresses”, yang di bintangi oleh Katherine Heigl. Film ini bercerita tentang seorang wanita yang sudah sering menjadi pengiring pengantin, sampai-sampai dia sudah memiliki 27 gaun pengiring. Bahkan "dilangkahi" oleh sang adik perempuan. Sebelum akhirnya dia memakai baju pengantinnya sendiri di hari pernikahan.


Wah, kalau harus menghitung dulu baju yang ku pakai ke undangan pernikahan sampai berjumlah 27, kapan menikahnya? Heuheu.. Karena tidak setiap menghadiri undangan, aku memakai baju berbeda. Biasanya beberapa kali ke undangan, “kostum” nya tetap sama. Paling ku siasati dengan melihat dulu siapa yang mengundangnya. Kalau yang mengundang teman SMA, berarti baju yang kupakai minggu-minggu kemarin untuk menghadiri undangan teman SMP, masih bisa ku gunakan lagi. Agar tak kelihatan memakai baju yang itu-itu terus,hehehe... Ku hitung-hitung, belum sampai 27 gaun. Sepuluh pun tidak. Alamaaak! Berapa kali lagi lebaran haji yang harus terlewati kalau begitu?

















Pertanyaan “aku kapan ya?”, sesekali memang ada. Tapi tak terlalu menguasai benak pikiran (belum kayaknya). Biarpun hampir kebelet… (gakgakgak!). Karena ternyata menunaikan hajat pernikahan, tak semudah menunaikan “hajat” di WC alias ee (maaf ya kalau agak-agak dirty). Yang kalau kepengen tinggal ambil posisi aja.

Kalau hajat di WC kan bisa sendirian (masa mau rame-rame :p), mengeluarkan sesuatu dari diri kita yang tak asing lagi. Tapi kalau nikah kan musti ada pasangannya (orang gila mana yang kawin sendirian?), menarik seseorang yang mungkin sebelumnya sangat asing, untuk masuk ke dalam kehidupan kita. Tak sembarangan, bahkan kita sedang melakukan “kontrak yang teguh” dengan Tuhan. Karena menyangkut dunia dan akhirat. Bukan main seriusnya.

Sisa umur kita akan dijalani bersamanya. Bukan hanya cantik/tampannya, cerdasnya, senyumnya dan rezekinya yang akan bersama kita. Bau keringat, bau mulut, bau kentut dan bau-bau nya yang lain, juga akan bersama kita sepanjang hayat. Paket komplit, tak bisa di kembalikan sebagian.

Atau calon dah ada nih, cocok. Bibit, bebet, bobot, babat sama bubut nya sesuai. Eh, orang tua yang suka itung-itungan tiba-tiba bilang, "nak, menurut perbintangan, hari baik buat nikah nya ternyata udah lewat, baru ada lagi ntar 2 tahun ke depan". Wuahaha, bisa layu sebelum berkembang. Ternyata tak semudah hompimpah ya? (maksudnya, membalikan telapak tangan).

Btw, kalau di lihat-lihat, kehidupan pernikahan juga kadang mirip dengan proses “ee”. Maksudnya, pernikahan itu pasti ada “mulesnya” alias ada masalahnya. Ee harus dikeluarkan biar sehat. Begitu juga masalah, harus di selesaikan biar pernikahannya sehat. Gak “ee-ee” juga bisa pertanda masalah. Jadi kalau yang nikah gak pernah ada masalah, justru itu pertanda pernikahannya sedang bermasalah kali ya.

Untuk kemudian mengeluarkan “ee” itu, ada yang lancar jaya lalu dengan cepat bisa langsung plong, ada yang mencret-mencret dulu berhari-hari baru normal lagi, ada yang sembelit, ada juga yang berdarah-darah kalau udah ambeyen. Yang terakhir ini kalau di biarkan aja, bisa menimbulkan masalah yang lebih serius (kayaknya pengalaman banget gitu ya sama ambeyen,hehehe...).

Yang nikah juga gitu kan? Ada pasangan yang bisa dengan cepat menyelesaikan masalah, ada yang butuh waktu relatif lama untuk kemudian normal lagi, ada yang susaaaah banget selesai masalahnya, bahkan ada yang sampai “berdarah-darah” demi menyelesaikan masalah. Entah darah beneran, atau saking peliknya sampai harus di gambarkan dengan kata “berdarah-darah”.

Lancar enggak nya “ee” kita (doh, jadi berasa ahli per-ee-an), pasti tergantung kesehatan saluran pencernaan kita dong. Kesehatan saluran pencernaan, tentu tergantung pada apa yang kita makan. Kalau ala kuda lumping yang sampai beling pun di makan, mana tau deh kesono nya kayak gimana. Kalau yang di makan jenis yang sehat, bergizi, banyak serat, cukup minum air putih, kemungkinan besar bisa lancar dong. Kalau mencret-mencret, paling karena makan yang pedas-pedas atau masuk angin. Kalau sembelit, kayaknya kurang minum. Nah, kalau yang ambeyen, kayaknya saking gak ngejaga asupan makanan, dan kalau bermasalah dengan ee suka di biarin, jadinya perlahan-lahan menimbulkan penyakit yang lebih serius. Akhirnya musti ke dokter. Gak bisa sembarangan makan obat warung atau pergi ke dukun.

Mari kita terapkan teori ee ini ke dalam pernikahan. Kalau ee berhubungan dengan makanan jasmani, maka pernikahan berhubungan dengan makanan rohani. Berhubungan dengan, apa sih “makanan” yang dimasukan ke dalam hati dan pikiran. Kalau “makanan” nya berupa selalu mengingat Tuhan, ilmu yang senantiasa di tambah dan berpikir positif, kemungkinan besar dalam menyelesaikan masalah bisa lancar jaya. Kalau makan omongan orang terus (kadang yang pedasnya gak ketulungan), mungkin bisa bikin kehidupan pernikahan “mencret-mencret” beberapa waktu. Kalau kurang ilmu nya, bisa rada-rada sulit menyelesaikan masalah. Yang parah, kalau gak ngejaga asupan makanan rohani dan selalu membiarkan masalah tanpa jalan penyelesaian. “berdarah” deh. Akhirnya harus melibatkan pihak ketiga, yang bisa jadi “dokter” untuk membantu menyelesaikan “ambeyen” pernikahan.

Mules beneran ini mah ngomongin per-ee-an terus. Semoga gak terasa jorok dan bau ya. Well, untuk yang sudah menikah atau sebentar lagi akan menikah, semoga lancar ya ee nya, eh.. maksudnya semoga lancar ya kehidupan pernikahannya ^^.

Adios. Permios. Pribados moal deui nyorokcos. Kedah enggal ka pipir kos. Soalna tos karaos mulos-mulos (mules-mules, maksa mode: on).



P.S : Tuhan, ini hanya di antara kita saja ya. Jadi, apakah aku harus memakai sampai 27 gaun atau menghadiri 27 undangan pernikahan, atau melewati usia 27 dulu, hingga bisa sampai pada “kontrak” dan hajat yang satu itu?

7 komentar:

  1. jadi kapan nyusul teh?
    mo punya anak berapa?
    kawin ma siapa?
    kawin dimana?

    undang-undang ya..

    BalasHapus
  2. Andi : Wa'alaikumsalam. Salam kenal juga ^^

    Rio: macam reporter gosip saja kau, hahaha!

    BalasHapus
  3. IMO, Paragraf "Lancar enggak nya..." dirasa nggak perlu...
    Kenapa...?
    Kalau kita menganalogikan dengan permainan "Attack-Counter", pembahasan Per-ee-an sebagai "attack"-nya dan pembahasan Pernikahan sebagai "counter"-nya, maka paragraf "Lancar enggak nya..." sebagai "attack" yang terakhir, tetapi sayangnya tidak diikuti dengan "counter"-nya yang terakhir...
    CMIIW...

    BalasHapus
  4. saya gak tau permainan "attack-counter",heuheu..
    Jadi agak gak ngerti dgn analoginya.

    Semoga saya bener ya mengartikan analoginya.
    Attack= "lancar enggak nya.."
    counter= "mari kita terapkan teori per-ee-an ini..".

    CMIWW juga,hehe..

    *senang sekali ada yg mengkritik tulisan saya. berarti gak cuman di baca, tapi di renungkan :D
    Ditunggu kritikan buat tulisan yang lainnya ya, pls pls pls

    BalasHapus
  5. Sebenarnya permainan itu saya ngarang aja, modifikasi dari istilah sepak bola "counter-attack", wkwkwk...

    Ya...saya ngaku kurang teliti pas baca paragraf "mari kita terapkan teori per-ee-an...", itu bisa dijadikan "counter" terakhir...
    Per-ee-an nya kebanyakan sih...
    Hahaha...

    BalasHapus
  6. Alibi...?!
    Jadi merasa seperti tertuduh, dan kawan-kawannya... :p

    BalasHapus

what's ur comment?