Rabu, Mei 25, 2011

Day #5 : Hidup Adalah Jalinan Pilihan

Teringat dengan buku cerita waktu kanak-kanak yang memberikan beberapa pilihan jalan cerita, sehingga satu cerita bisa memiliki ending yang berbeda-beda tergantung jalan cerita mana yang di pilih. Pun, hidup adalah tentang memilih jalan cerita. Mungkin di Lauhul Mahfudz sana, sudah tertulis beragam ending untuk kisah kita. Lalu, Tuhan memberikan kehormatan, untuk memilih jalan masing-masing.

Kejadian-kejadian hari ini membuatku semakin yakin bahwa hidup adalah soal memilih. Pilihan kita tidak hanya berpengaruh tok pada saat kita sedang menentukan pilihan. Tapi itu bisa berakibat pada kejadian-kejadian selanjutnya. Malah mungkin mengantarkan kita pada hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan.

Hari ini, keputusanku untuk menunda salat dzuhur, mengantarkanku pada handphone cantik dan Chopin yang membuat tersenyum.

Sepulang mewawancarai Guru di sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke BEC, memperbaiki printer yang ngadat. Setelah sebelum nya sempat pusing ketika mentranskrip hasil wawancara. Karena rekaman hasil wawancara ternyata tidak ke save. Celakanya, aku pun tidak menuliskan jawaban2 ketika wawancara, karena mengandalkan rekaman. Aku menunda shalat dzuhur, karena kamar super berantakan. Ku rencanakan, akan shalat di Gramed saja setelah mengantar printer.

Tak dinyana, ketika di toliet saat aku akan buang kecil terlebih dahulu sebelum wudhu, handphone ku kecemplung di WC. Beberapa detik sebelumnya, sebenarnya aku akan menyimpan dulu handphone di tas. Tapi ternyata aku lebih memilih untuk menyimpannya di saku kardigan yang dangkal. Maka, terjadilah tragedi itu. Namun, hidup adalah pilihan. Handphone kecemplung adalah hasil dari pilihan keputusanku.

Aku hanya tertawa. Mencoba untuk berperasaan positif. Setelah mumet memikirkan deadline penyerahan BAB 1-5 yang tinggal 6 hari lagi, eh hasil wawancara malah tak terekam, printer rusak, acara kaderisasi (dimana aku jadi ketua nya) belum ada progres padahal tinggal 1 bulan lagi, di tambah handphone yang kecemplung. Lantas, apa lagi Tuhan? Seandainya menangis akan menyelesaikan masalah, maka aku akan menangis sejadi-jadinya.

Lalu aku mulai mengurai pengandaian. Seandainya tadi aku shalat dzuhur dulu sebelum berangkat, mungkin aku tidak perlu ke toilet. Dan kalau aku tak ke toilet, kan kemungkinan handphone tak akan kecemplung. Namun lagi-lagi, hidup adalah pilihan. Dan konsekuensi akan selalu menyertai.

Setelah Salat Dzuhur di Gramed, lantas aku melanjutkan rencanaku untuk ke perpus UPI. Tapi karena handphone ku tak bisa di nyalakan lagi, maka aku ke tukang servis dulu yang ada di gerlong. Karena sudah jam 3 lewat, perpus bagian skripsi dan tesis pasti sudah tutup. Sehingga batal lah aku ke perpus.

Tapi keputusan untuk ke tukang service itu, mengantarkanku pada handphone VITELL ala kadarnya seharga 100 ribu. Ku beli, karena aku butuh alat komunikasi yang bisa nge-sms melakukan dan menerima panggilan.

Uang di dompet yang 100 ribu habis. pun pulsa ku habis. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke ATM BRI di DT, karena tak ada uang untuk beli pulsa. Setelah ambil uang dan isi pulsa, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah conter pulsa dan hp second di pinggiran jalan gegerkalong girang. Dan ternyata, di sana ada handphone sonny ericsson dengan model impianku untuk menggantikan si erik (hp SE juga) yang sedang koma. Dan aku berencana akan melakukan eutheunasia terhadap nya. Karena keadaannya sudah memilukan. Oh,ya hp yang kecemplung itu bukan si erik. Tapi nokia jadul milik ibu ku yang ku pinjam untuk menggantikan erik sementara waktu.

Lantas aku mengurai lagi. Oooo, aku mengerti sekarang. Tuhan membuat handphone nokia kecemplung, agar aku dapat melihat si cantik erika (hp SE dengan model impianku itu). Kalau nokia tak rusak, aku tak akan ke tukang servis. Kalau tak ke tukang servis, aku belum tentu beli VITELL. Kalau aku tak beli VITELL, belum tentu aku ke ATM ngambil uang untuk beli pulsa. Kalau aku tak ke ATM, belum tentu aku bertemu si Erika.

Sejenak aku senang. Tapi kesenanganku berkurang ketika aku ternyata belum bisa memiliki si Erika karena keuangan yang tak memadai. Lalu aku sedikit menyesal. Kenapa harus lewat jalan sini dan melihat Erika. Klo ternyata aku belum bisa memiliki nya. Namun kemudian aku bersyukur kembali. Karena paling tidak, aku sudah punya handphone "kecengan". Tinggal mengumpulkan pundi-pundi rupiah saja. Tapi itu pun harus berkejaran dengan waktu, sebelum ada orang lain yang menyambar Erika.

Kemudian ku analogikan kejadian ini dengan ketika kita pernah bertemu seseorang. Saat orang itu ternyata kita sukai, maka kita merasa beruntung bisa bertemu dengan orang tersebut. Tapi ketika ternyata orang itu tidak bisa menjadi milik kita, maka tiba-tiba kita berkata "kenapa kita harus bertemu kalau ternyata menyisakan rasa sakit?" (biasanya kan sakit hati klo kasih tak sampai,hehe..)

Maka, hidup adalah jalinan pilihan. Bukan semata pilihan keputusan, tapi juga pilihan bagaimana kita akan berperasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what's ur comment?