Senin, Mei 23, 2011

Day #3 : Kecolongan

Waktu kecil, atau sebutlah ketika masa sekolah ku di kota Garut, aku sering menyusuri jalan di pusat kota, yang lebih beken disebut pengkolan. Sering kutemukan beberapa pengemis yang melapak di beberapa titik. Biasanya kondisi mereka membuat kita sedikit maklum mengapa mereka terpaksa melakukan hal itu.

Seperti seorang bapak buta berpakaian hitam yang melapak di depan toserba Asia, seorang ibu kurus dengan anaknya yang juga kurus yang kadang sampai terlelap di tengah deru langkah orang-orang di depan toko elektronik “Djoe Loeng”, seorang laki-laki cebol berkumis tipis yang cacat kakinya dan melapak di depan toko Sumatra, juga seorang bapak buta yang menggendong anak di punggunya dan tak pernah berhenti merafal kata-kata. Ajaib, si bapak tersebut seperti kaset yang tak kenal lelah.

Awalnya tak kumengerti bapak itu merafal apa, karena bicaranya tanpa titik koma. Tapi setelah beberapa kali lewat, aku akhirnya bisa menangkap kata-kata itu. Yah, semacam jurus meminta-minta sambil mendoakan. Lupa lagi lengkapnya seperti apa, tapi kira-kira begini: kasadaya.. bla..bla..bla..mugia dipasihan kasalametan.. bla..bla..bla... (artinya : kesemua nya..bla..bla..bla.. semoga diberikan keselamatan..bla..bla..bla..). Dan pasangan bapak anak yang satu ini biasanya cenderung nomaden. Kadang kapling nya di depan toko baju, kadang di depan toko makanan. Yah, tergantung mood nya kali ya,hehe..

Begitulah sedikit nostalgia dengan pengemis-pengemis Garut jaman dulu (halah..). Bagaimana dengan sekarang ya? Waktu kecilnya mungkin mereka tak membayangkan akan jadi seperti ini. Karena, siapa juga yang kecilnya punya cita-cita jadi pengemis.

Selepas SMA, aku menginjakan kaki di kota Bandung, emak nya Jawa Barat. Menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, ceritanya. Alias kuliah. Dan dari kota ini, mulai ku kenal sebuah istilah yang namanya “anak jalanan”. Ya, anak yang kebanyakan menghabisakan kesehariannya di jalanan, bahkan sampai tidur di jalanan. Jadi bisa disebut lah klo jalanan adalah rumah mereka.

Menurutku, ada 2 tipe anak jalanan di sini. Pertama, anak yang mengamen . Kisaran usia SD sampai SMA. Sepertinya sih mayoritas, karena dengan mudah bisa kita temui klo pas lagi naek angkot atau lagi makan di warung-warung tenda. Pemandangan pengamen cilik yang loncat naik atau turun dari angkot, sudah menjadi hal biasa.

Kedua, anak yang mengemis. Biasa nya masih pada bocah-bocah banget. Ngelap ingus aja kayaknya baru belajar. Kisaran usia balita atau SD kelas 1-2 (klo sekolah sih itu juga). Tapi jangan salah, ni bocah-bocah punya jurus meminta-minta yang militan. Klo belum di kasih, terus ngejar-ngejar. Mendesak-desakan tangan mungilnya ke badan kita. Pas gak di kasih juga, eh langsung nangis keras. Kesannya abis di apain gitu sama kita. Daripada malu di sangka ngapa-ngapain dan gak mau ambil pusing, biasanya tuh anak ada yg di kasih duit juga akhirnya. Kayaknya ini strategi yang udah di ajarin para emak (atau wanita-wanita yang membawanya) yang mengawasi mereka dari kejauhan.

Duh, Bandung..Bandung.. untung di Garut kagak ada yang beginian.. (begitu pikirku saat itu)

Ealah, ketika kembali lagi ke Garut, ku sadari ternyata pemandangannya sekarang tak jauh beda dengan Bandung. Di Garut, anak jalanan pabalatak, alias ada di mana-mana. Kayaknya, ada aja di tiap tikungan. Kebetulan waktu itu sedang iseng jalan-jalan di daerah kota. Baru jalan beberapa langkah, udah nemu anak jalanan. Beberapa langkah, nemu yang lain lagi sampai beberapa kali. Apalagi kalau menyempatkan diri berdiam sejenak di pelataran Masjid Agung. Pasti tak cuman sekali ada anak kecil yang menghampiri untuk minta uang. Sampai-sampai kupikir, kalau membandingkan luas wilayah perkotaan Bandung dengan jumlah anak jalanannya, jangan-jangan rasio kota Bandung dan Garut tak jauh beda. Padahal wilayah Garut tentu saja lebih kecil dari Bandung.

Aku tak tahu pasti kapan anak jalanan di Garut mulai marak. Yang ku tahu, tiba- tiba saja sudah banyak. Selama menetap di Bandung, aku kurang memperhatikan keadaan sekitar kota ku sendiri. Kalau pun pulang kampung, biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga.

Kurasa, ada perbedaan yang cukup mencolok antara anak jalanan di Bandung dengan di Garut. Kalau di Bandung, ku lihat lebih banyak yang tipe pengamen nya. Masih ada lah usaha nya. Tapi di Garut, kebanyakan tipe pengemis nya, dengan militansi dan kemampuan maksa-maksa nya yang gak jauh beda dengan bocah-bocah di Bandung. Dan di sini, jarang kulihat yang ngamen nya.

Orang tua mereka pada kemana ya? Katanya sih, sedang mengawasi juga dari jauh. Dulu, ada orang tua yang terpaksa mengemis biar anak nya bisa makan. Sekarang, anak-anak yang terpaksa ngemis (di suruh, atau bahkan di organisir ya?) kali ya, biar orang tuanya bisa makan. Dulu, mengemis adalah sebuah keterpaksaan karena keadaan. Sekarang, mengemis sepertinya sudah jadi suatu profesi pilihan.

Baru kusadari, kalau kita kecolongan. Dengan kondisi anak-anak Garut yang banyak seperti itu, kira-kira kota Garut beberapa tahun ke depan akan seperti apa ya? Kecil-kecil udah terbiasa ngemis, kemungkinan pas gede nya juga gak bakalan jauh. Lha, ntar banyak orang dewasa yang pengemis dong. Trus ntar klo punya anak gimana? Apa mau di ajarin ngemis juga? Jangan-jangan orang tua dari anak-anak yang sekarang suka ngemis itu, dulu nya adalah anak seorang pengemis juga. Wah, jangan sampai mengemis adalah sebuah faktor keturunan.

Dan jangan lupa, anak-anak jalanan itu juga kecolongan sebenarnya. Karena hak nya yang seharusnya cukup bermain dan belajar, terampas/ di rampas oleh orang-orang dewasa. Mereka tak cukup punya daya. Orang-orang dewasa lah yang mengkondisikan mereka menjadi seperti itu.

Yang jelas, ada yang harus kita lakukan. Tidak cukup dengan peduli terhadap mereka hanya setahun sekali pas bulan Ramadhan. Judulnya biasanya, buka puasa bareng anak jalanan. Atau, bakti sosial untuk anak-anak jalanan. Dan dengan berfoto bersama, tampaklah kita seperti seorang atau kelompok dermawan yang betul-betul peduli akan nasib mereka. Seremonial seperti itu kah yang mereka butuhkan? Itu tidak mencabut akar masalah. ("Trus urang kudu kumaha atuh?" ceuk nu maca teh, hehe..)

Mungkin anak jalanan adalah bukan sebuah sebab. Tapi sebuah akibat. Akibat dari permasalahan-permasalahan orang dewasa yang terbengkalai. Jadi buat para orang dewasa, cepat selsaikanlah masalah mu. Anak-anak tak bisa di biarkan terlalu lama menunggu!

Baru teringat, dulu semasa sekolah, ada rumah singgah buat Anak Jalanan di pinggir halte, sebrang toserba Jogya. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak ada lagi. Kemana ya? Dan itu pun milik swasta bukan pemerintah. Lantas, pemerintah Garut lagi kemana ya?. Kalau mengikut ke gaya lantang mahasiswa, selama ini anak jalanan yang notabene terlantar, belum di pelihara oleh Negara. Maka, gagal lah pemerintah dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945!

Namun tiba-tiba ada satu pertanyaan yang membikin jangar. Selama ini saya kemana aja ya?

3 komentar:

  1. langsung saja ke saran solusi ya :)

    1, program Gerakan Wakaf Buku (Menurutku, dasar dari kesejahteraan dan kemajuan ada pada ilmu pengetahuan. jika masyarakat gemar membaca pastinya akan mendapat ilmu pengetahuan yang menghasilkan kesejahteraan dan pikiran yang terbuka). meureun..xixixi
    2, bikin atuh komunitas pendidikan yang mempunyai program yang mengkhususkan pendidikan karakter. syukur-syukur ada program beasiswa anak jalanan untuk tingkat TK, dan SD.heheh

    BalasHapus
  2. Efektif kah? Karena di kota-kota besar, sudah berapa banyak LSM yang mengadakan hal seperti itu. Tapi anak jalanan malah cenderung bertambah.

    BalasHapus
  3. efektif jika dikelola dengan sunggung-sunggung dengn didasari dukungan pemda terkait untuk kebijakan / peraturan pendidikan dan kesejahteraan untuk anak jalanan. sehingga jelas ada wilayah dan pembinaan khusus untuk meminimalisir bertambahnya anak jalanan.

    sugan entar mah jadi anak rumahan..hahay :p

    BalasHapus

what's ur comment?