Selasa, Juli 12, 2011

Ada apa dengan An*ing?

Untuk mengetahui, bagaimana sebenarnya kondisi masyarakat sebuah bangsa, kita bisa melihat dari caranya berbahasa. (Mc Cliff dalam Lingual and Culture)



Gang di sebelah kamar kostan saya yang sekarang, sering dijadikan tempat berkumpul dan bermain anak-anak sekitar. Saking dekatnya, suara-suara dari gang itu dapat terdengar langsung dari kamar saya. Sekali waktu, sempat kaget juga ketika ada balita yang menangis karena di jahili oleh bocah-bocah kecil lainnya. Bukan tangis nya yang menjadi sebab kekagetan saya. Tapi kata-kata pengiring yang di ucapkan saat dia menangis. “Huaaaaa…an*ing, huaaaa…an*ing…huaaaa…an*ing!”

Ck..ck..ck.. anak sekecil itu…

Padahal usia balita adalah golden age. Masa-masa dimana kemampuan otak anak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Apapun informasi yang diberikan akan berdampak bagi si anak di kemuadian hari.

Orang dewasa (laki-laki) yang ada di dekat balita itu bukannya menenangkan dan member pengertian kalau kata-kata yang di ucapkannya tidak baik , tapi malah ikut menjahili. Dan tertawa-tawa setiap kali sang balita melontarkan kata “an*ing”. Ealah, wis gendeng opo ya?

Usut-punya usut, balita ini sepertinya meniru anak-anak lain berusia SD yang kerap juga mengucapkan umpatan hewan berkaki empat itu. Lantas anak-anak SD ini meniru siapa ya?

Iseng-iseng, saya suka perhatikan anak-anak putih merah, putih biru dan putih abu kalau kebetulan sedang melewati sekolahan. Atau ketika sedang makan di warteg dekat –dekat situ. Serasa bukan sekolahan deh, tapi lebih berasa seperti tempat penitipan an*ing,heuheu..

Bagamana tidak, karena hampir semua percakapan anak-anak sekolahan tersebut bermuatan si an*ing itu. Seperti : “Rek kamana, j*ng?”, “maneh tong kitu atuh an*ing”, “an*ing, hebat pisan si Messi kamari nga golkeun deui!”, “An*ing! henpon maneh meni alus kitu!”, geus ngerjakeun PR acan,j*ng? “ atau pas terantuk batu bilangnya “an*iiiing!! Nyeri!”, dll.

Tadi di gang samping kostan saya itu itu, ada anak-anak yang sedang main badminton. Tapi sepertinya, mereka akan cepat kehilangan tenaga. Karena setiap memukul kok, mereka sambil teriak “an*ing”.

Dulu ketika belum punya modem dan masih ke warnet, saya pernah hilang kesabaran dan sampai meninggalkan warnet, padahal belum selesai tuh nyari artikel. Gara-garanya ada seorang pemuda yang sedang main game (perang-perangan), dan setiap kali melakukan tembakan atau tokoh yang dimainkannya kena, selalu bilang an*ing. Game perang-perangan pastinya banyak banget kan tembak-tembakannya. Coba bayangin, gimana kuping saya gak sakit, kalau kata an*ing terdengar terus seperti muntahan peluru. Rasanya ingin melemparkan hewannya yang beneran, ke muka pemuda itu. Sambil bilang, “NIH, YANG LO PANGGIL-PANGGIL DARI TADI, AKHIRNYA DATANG JUGA!”

Masih juga di warnet. Kali ini ada anak SD yang sedang main game. Polahnya sama seperti pemuda tadi. Dikit-dikit bilang an*ing. Dan polah saya juga sudah pasti sama, langsung menyingkir dari warnet. Bener-bener sakit kuping mendengarnya.

Sekali waktu di angkot ketika sedang penuh-penuhnya penumpang. Ada dua anak SMP yang sepertinya sedang terlibat pembicaraan seru. Dan dengan santainya, mereka berdua beradu “an*ing” di angkot. Maksudnya, mereka sama-sama menyematkan kata “itu” dalam setiap obrolan. Ketika dipelototin, eh malah santai dan makin asik aja. Udah biasa gitu kali ya?

Gak di Bandung, gak di Garut, setiap anak sekolahan dari mulai yang SMA sampai SD, sering sekali mengeluarkan umpatan “an*ing”. Bahkan di kalangan mahasiswa terpelajar pun, yang katanya agen MLM, eh agent of change maksudnya, sudah menjadi hal lumrah. Mau laki, mau perempuan, udah sama aja kondisinya sekarang. Jadi sebenarnya, para siswa meniru kakak-kakaknya yang sudah “maha” itu, atau memang mereka sudah sama-sama terbiasa sejak kecil, karena tidak ada yang mengingatkan?

Masih bisa disebut terpelajarkah para pelajar seperti itu?

Seingat saya, dulu umpatan “an*ing” itu biasanya keluar dari orang-orang di lapisan masyarakat yang (maaf) kurang terpelajar. Atau juga masih bahasanya para berandalan. Dan itupun di ucapkan ketika dalam kondisi marah.

Entahlah, apakah para pelajar sekarang sangat mengidolakan hewan yang satu itu, hingga selalu di sebut-sebut. Sepertinya kurang afdol gitu kalau pas bicara gak nyebut-nyebut si “dia”. Sudah here, there and everywhere deh. Mau marah, senang, kaget, sakit, nyapa, kagum, semuanya pake “an*ing”.

Bahkan kalau yang sudah sangat faseh dan saking mendarah dagingnya, bisa terjadi seperti ini :
A : “Maneh ulangan meunang (nilai) sabaraha?”
(kamu ulangan dapat nilai berapa?)

B : “An*ing! Alhamdulillah urang mah meunang peunteun dalapan!”
(An*ing! Alhamdulillah saya dapat nilai delapan!)

Kalau kata Reza Artamevia mah, saking udah menjadi “Satu yang Tak Bisa Lepas”, bahkan umpatan hewan bernajis itu, dengan sembrononya disandingkan dengan kalimat tahmid yang suci.

Ada pepatah mengatakan, language is an index of zivilisation. Penggunaan bahasa ke arah kata-kata kasar dan buruk, adalah indikator dari adanya perubahan sosial yang memburuk.

Jadi, apakah kondisi ini telah mencerminkan masyarakat kita yang cenderung menghewankan manusia?
Masyarakat kita yang cenderung diam saja, terbiasa dan malah menurut saja ketika di anggap seperti hewan? (buktinya, nyaut ketika dipanggil "an*ing")

5 komentar:

  1. Udah jadi budaya yg mendarah daging nampaknya, susah buat dihentikan..

    BalasHapus
  2. susah memang kalo mau merubah semua hal itu, maka mari kita mulai dari diri kita sendiri.. keluarga dan lingkungan sekitar :)
    ibu aku juga kalo di deket rumah ada yang ngomong kaya gitu suka langsung dimarahin si anak yang bersangkutannya..

    BalasHapus
  3. Wahai anonim, siapa gerangan nama mu sebenarnya? Biar aku lebih bisa mengakrabkan diri. Itupun jika kau mau,heuheu..

    BalasHapus
  4. kumaha nyak menyampaikan pendapat saya na? hmm... mungkin aja cuma kata itu yang dianggap oleh para penggunanya yang bisa mewakili apa yang ingin mereka ekspresikan dan... haduh... saya malas nulis lagi seterusnya. hehe.

    wah sayang sekali waktu madfal bahas soal anjing2an(sengaja gak disensor) ini kamu belum ikut menggalau di madfal. hehe. waktu itu diskusinya seru lho. wahahaha

    BalasHapus
  5. Cukup bisa dipahami lah kalau untuk mengekspresikan sesuatu yang gak bisa di wakili dengan kata yang lain.
    Cuman masalahnya, sekarang ini kan kata "an*ing" sudah menjadi kata ganti orang kedua, juga menjadi kata penguat seperti "mah" dalam bahasa sunda, atau "deh" dan "dong' dalam bahasa Indonesia.

    BalasHapus

what's ur comment?