Kamis, September 22, 2011

Gerenyem Hate

Tiba-tiba aku merasa perlu definisi ulang. Apakah yang terjadi selama seminggu ini adalah gerak refleks atau gerak yang di sadari? Aku jadi menghubung-hubungkan antara ragu dan penyesalan. Sebenarnya ini keinginanku atau kebutuhanku? Sungguh, aku bukan berpikir ulang tentangmu. Tapi aku berpikir ulang tentang diriku sendiri. Aku orang yang bisa mengurung diriku sendiri dalam sangkar, tapi bisa pula menjadi orang yang membuang sangkarnya sendiri. Tergantung apa definisi bebas bagiku di hari itu. Aku khawatir menjadi yang tak bersetia dengan rencanaku sendiri.

Kau datang di saat aku tidak ada rutinitas. Aku khawatir bahwa ketika rutinitasku kembali, kau tidak kuhadirkan lagi. Apakah aku akan tetap bisa menjadi diriku sendiri? Atau akan ada tuntutan untuk berubah? Jalan pemaknaan mana yang harus ku ambil?

Bisakah nanti kau memahamiku tanpa aku harus bicara? Bagaimana jika aku selalu menuntut tanpa memberi apapun? Bagaimana jika dalam seumur hidupmu, aku selalu bertanya?
Ini adalah sisi infantilku.

Senin, Agustus 22, 2011

Name Preparation


Perempuan :

Jasmine Zhafira Farzan = melati,beruntung, bijaksana


Jasmine Farzan Ar-Rayyaan = melati,bijaksana,pintu surga


Jasmine Zhafira Ar-Rayyaan = melati, beruntung, pintu surga


Zhafira Mehri Thamina = beruntung, baik hati, berharga


Farzana Mehri Thamina = bijaksana, baik hati, berharga


Laki-laki :


Naveed Razeen Ar-Rayyaan = berita bagus, serius,sopan, pintu surga

Fahim Farzan Ar-Rayyaan = cerdas, bijaksana, pintu surga

Aslam Naveed Ar-Rayyaan = damai, berita bagus, pintu surga


Pilih yang mana ya? bagus-bagus semua ^^

Sabtu, Agustus 20, 2011

Tamu Hati



Penghias mata
Ada mu tak menambah pasir waktu menjadi penuh
Bahkan tak kusadar hampir habis separuh
Namun entah, setiap bulirnya terasa berkilau sejak itu

Maukah kau ku undang
Untuk menetap saja di lubukku?

Atau ulurkan, ulurkanlah benang-benang
Biar bersama kita memintal
Bukan untuk menjadi jaring yang memerangkap
Tapi menjadi kain pelindung bagiku, bagimu

Ah, mata
Maaf hari ini luput kujaga
Hingga terlanjur ada tamu di beranda hati
Berbincang dengan angan, agar saja jadi penghuni

Ah, tamu hati
Pulanglah
Sebab tak tega aku menyuruh pergi

Rabu, Agustus 10, 2011

Mahar Cinta untuk Anisa : Menjejak di bekas telapak Habibburahman

Pukul 2 siang tadi, saya membeli sebuah novel. Dan pukul 5 sore, sudah saya rampungkan membaca novel yang berjudul Mahar Cinta untuk Anisa ini. Melihat judulnya, sekilasa teringat akan karya-karya nya Habibburahman El-Shirazy yang tak pernah luput menyemat kata “cinta” dalam judul novelnya. Sebut saja, Ayat-ayat cinta yang fenomenal itu, Ketika cinta Bertasbih, Dalam Mihrab cinta, Di atas Sajadah cinta, cinta Suci Zahrana, Bumi cinta, dan lupa lagi saya dengan judul-judul lainnya.



Andai saja film Ada Apa Dengan Cinta dirilis pada tahun-tahun sekarang, mungkin saya juga akan menyangka bahwa film tersebut di angkat dari salah satu novel hasil tarian pena Habibburahman. Maka rasanya wajar, kalau saya pernah bersangka bahwa novel itu adalah salah satu karya beliau. Dan ternyata bukan. Itu dari segi judul, yang bertipe serupa. Tapi mari kita lihat dari segi sinya, apakah bertipikal sama dengan novel-novel Habibburahman?

Novel yang tadi saya baca berisi tiga buah judul cerita yaitu “Kerudung Merah dari Makkah”, “Mahar Cinta untuk Anisa”, “Air Mata dan Mukena Kerinduan”.

1. Kerudung Merah dari Makkah

Di judul ini saya sangat merasakan aura Habibburahman terutama dengan Ketika Cinta Bertasbih-nya. Faris, tokoh utama disini sangat mirip dengan karakter rekaan khas Habibburahman. Sekilas mirip si Azzam lah. Dari keluarga sederhana, pekerja keras, harus membiayai sekolah adik-adiknya, berpendidikan, disukai oleh lebih dari 1 wanita, memegang teguh aturan agama, ringan tangan membantu orang, ulet menjalankan usaha dan berjiwa ikhlas (entahlah, tapi di novel ini saya merasakan kesan “di ikhlas-ikhlas kan”). Inti ceritanya pun mirip dengan Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Tentang hal “bagaimana Allah menyiasati pertemuan hamba-hambanya untuk berjodoh” dan “kalau udah jodoh, pasti ketemu”.

Lagi-lagi saya merasakan getar-getar Ketika Cinta Bertasbih tatkala mengetahui bagaimana awal mula si Faris mengagumi sesosok wanita (yang belakangan diketahui bernama Husna), meski hanya desiran dalam hati saja. Yaitu ketika melihat kesalehan wanita ini tatkala berada di sebuah mesjid. Lha, ini mirip dengan Azzam yang langsung berdesir hatinya saat pertama kali melihat Ana Altafunisa di sebuah acara seminar. Sang Husna pun begitu. Ternyata dia telah mengagumi sosok Faris saat pertama melihatnya di kampus. Dan setelah itu, tinggalah sebuah kekaguman yang tersisa antara satu sama lain, tanpa sebuah perantara waktu yang mempertemukan mereka kembali. Sebuah kebetulankah kemiripan ini?

Hal-hal menggelitik pun saya temukan dalam sebuah percakapan (tepatnya ajang curhat) dua tokoh wanita bernama Mila dan Cherry. Dimaksudkan menjadi sebuah “girls talk”, tapi sebagai seorang wanita saya rasa kalau kebanyakan wanita sedang curhat-curhatan, tidak seperti di dalam novelet ini ceritanya,hehe..

Saya yakin penulisnya menginginkan novel ini punya nafas Islam dan memberikan penggambaran wanita-wanita anggun. Tapi ada rasa janggal ketika wanita se salehah husna yang hampir hafal 30 juz al-qur’an, menceritakan hal yang untuk seorang wanita biasa saja, itu merupakan hal yang pasti akan membuat tersipu. Dan seorang husna menceritakan kekagumannya pada seorang pria yang baru 2 atau 3 kali bertemu (atau berpapasan ya?) di depan sang prianya langsung dan disaksikan oleh beberapa orang lain, tanpa adanya selimut malu. Mmhh.., bagaimana ini?

Gaya penceritaan penulis ataupun percakapan tokoh-tokohnya disini pun terasa seperti seorang guru yang masih menggunakan kurikulum pendidikan lama tahun 1994 yang bergaya “teacher center”. Semua hal disampaikan hingga terkesan menggurui pembaca dan hampir saja ceritanya menjadi seperti buku teks fiqih atau kadang deskripsi-deskripsinya seperti kita sedang membaca berita di koran. Dan dari awal, cerita si ini sebenarnya begini, si itu sebenarnya begitu, sudah bisa ditebak.

Ada sebuah kecelakaan yang akhirnya mempertemukan para tokoh di rumah sakit. Yang nantinya akan mengantar Faris pada jodohnya dan cita-cita luhurnya untuk menunaikan ibadah haji Ke Baitullah. Cerita tentang Faris yang merelakan uang tabungan hajinya untuk membantu biaya operasi seorang jamaah masjid, tiba-tiba membuat saya merasa bahwa pada akhirnya cerita ini adalah cerita “Emak Naik Haji” berbingkai KCB.

2. Mahar Cinta untuk Anisa

Cerita yang ini sepertinya adalah “kojo” nya, sehingga dijadikan judul utama. Kisah seorang pria bernama Fajar yang ingin meminang putri Kyai, namun di beri syarat khusus sebelum nantinya direstui. Syarat khususnya adalah mabit di sebuah mesjid selama tiga hari dan selama mabit tidak boleh keluar dari mesjid. Terlihat mudah dan sederhana. Namun, akan berhasilkah ia?

Ada rasa penasaran ketika membaca yang ini, karena pembaca di bikin menebak-nebak tentang bagaimana nasib sang tokoh utama pada akhirnya. Pembaca “dipaksa” untuk mencari tahu, sehingga akan terus menelusuri isi cerita. Kalau memakai istilah kurikulum pendidikan, rasanya yang ini sudah seperti memakai Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004 dengan gaya “student center” dimana guru berfungsi sebagai fasilitator. Siswa dibiarkan mengeksplor rasa ingin tahunya dengan praktek terlebih dahulu untuk kemudian menyimpulkan pelajaran yang dapat ia ambil dari praktek tersebut.

Kesan “seorang guru yang sedang membacakan buku teks fiqih di depan kelas”, masih terasa. Namun tak sebanyak seperti di cerita Kerudung Merah dari Makkah. Judul yang kedua ini lebih enak untuk disimak. Ibrah tentang keikhlasan niat hanya karena Allah semata pun dapat terenungi.

Tapi petikan akhir di novelet ini membuat saya teringat kembali pada Habibburahman dan novelnya. Terutama pada istilah “melakukan tugas”. Rasanya pernah ada segmen ini di novel KCB atau di novel lainnya yang saya lupa judulnya.

3. Air Mata dan Mukena Kerinduan

Ketika membaca cerita yang ketiga ini, saya tidak teringat pada Habibburahman. Namun lebih teringat pada penulis novelet itu sendiri. Memang sepertinya penulis senang mengajari/menasehati orang. Dalam artian positif. Sehingga kesenangan tersebut terperantarai, tatkala penulis bercerita tentang seorang ibu yang menasehati putrinya perihal memilih suami yang baik berdasarkan pengalaman pahit manis sang ibu, dengan mengambil sudut pandang orang pertama. Mungkin cerita yang terakhir inilah yang lebih jujur menggambarkan gaya sang penulis, tanpa terlihat adanya tapak Habibburahman (ataukah tapak itu ada, hanya saja saya tidak melihatnya?).

Well, saya masih bersedia menunggu jejak-jejak lainnya dari sang penulis. Jejak di telapaknya sendiri. Benar-benar di telapak nya sendiri.

Jumat, Agustus 05, 2011

Stuck

Gerangan di manakah benang dan jarumku?
Sulit kujahit rasanya perca-perca kata ini